29 Tahun Tragedi Genosida Khojaly, Dubes Azerbaijan: Kota Ini Hanya Dihuni Warga Sipil
Konflik Armenia dan Azerbaijan ini merupakan konflik tertua yang sedang berlangsung di wilayah pasca-Soviet.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Malvyandie Haryadi
"Mereka melakukan pembersihan etnis di daerah yang direbut, mengusir sekitar satu juta orang Azerbaijan dari tanah air mereka dan melakukan kejahatan internasional serius lainnya," tutur Jalal.
Perlu diketahui, tragedi berdarah ini terjadi pada 25 dan 26 Februari 1992, saat malam hari, setelah terjadinya pengeboman artileri besar-besaran.
Angkatan bersenjata Armenia dan unit paramiliter yang didukung Resimen Infantri Bermotor ke-366 bekas Uni Soviet, bergerak untuk merebut kota itu.
Saat penyerangan dimulai, sekitar 2.500 penduduk yang tersisa pun mencoba lari dengan harapan bisa mencapai daerah terdekat di bawah kendali Azerbaijan.
Namun, harapan mereka sia-sia karena orang-orang yang mencoba melarikan diri ini disergap pasukan Armenia.
Diantara mereka ada yang dibunuh dengan tembakan dari pos militer Armenia dan ada pula yang ditangkap di dekat desa Nakhchivanly dan Pirjamal.
Sementara yang lainnya, terutama perempuan dan anak-anak, meninggal karena mengalami radang dingin saat mencoba lari ke kawasan pegunungan.
Hanya sedikit dari mereka yang berhasil mencapai kota Aghdam yang dikuasai Azerbaijan.
Pada 28 Februari 1992, dua helikopter yang membawa sekelompok jurnalis berhasil mencapai lokasi pembantaian.
Pemandangan mengerikan yang terjadi di sana pun sangat mengejutkan awak jurnalis ini karena terdapat lapangan yang dipenuhi mayat.
Tugas helikopter ini selanjutnya adalah mendarat di pegunungan dan mengevakuasi mayat di lokasi pembunuhan massal.
Terlepas dari pengawalan helikopter kedua, helikopter ini hanya dapat membawa empat mayat karena terjadi penembakan intens yang dilakukan Armenia.
Selanjutnya pada 1 Maret 1992, saat sekelompok jurnalis asing dan lokal tiba di tempat itu, terdapat pemandangan yang lebih mengerikan dibandingkan sebelumnya.
Menurut kesaksian jurnalis bernama Chingiz Mustafayev yang melakukan peliputan pada saat itu, posisi mayat-mayat ini menunjukkan bahwa mereka telah dibunuh dengan 'darah dingin'.