Hampir Seluruh Wilayah Myanmar Dikabarkan Mati Listrik Akibat Kerusakan Sistem
Pasokan listrik terputus di banyak negara bagian Myanmar, Jumat (5/3/2021) karena gangguan sistem.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, YANGON - Pasokan listrik terputus di banyak negara bagian Myanmar, Jumat (5/3/2021) karena gangguan sistem.
Hal itu disampaikan pejabat di kota terbesar Yangon, seperti dilansir Reuters.
Penduduk kota dari ibukota Naypyitaw, Yangon, dan Mawlamyine di selatan melaporkan mati listrik pada sore hari.
"Itu terjadi karena kerusakan sistem, kami tidak memutus daya. Ini akan kembali di malam hari," kata seorang pejabat Perusahaan Penyedia Listrik di Yangon.
Baca juga: Lagi, Satu Orang Tewas Saat Polisi Myanmar Tembaki Demonstran
Pemadaman listrik itu terjadi setelah berminggu-minggu gelombang aksi protes atas kudeta militer 1 Februari yang termasuk gerakan pembangkangan sipil dan mogok massal oleh banyak pekerja yang telah mengganggu kehidupan sehari-hari.
Seperti dilansir Channel News Asia, warga mulai memposting di Twitter dan Facebook tentang pemadaman listrik yang meluas di seluruh pusat komersial Yangon sekitar pukul 13.30 waktu setempat.
Laporan serupa tentang pemadaman listrik di negara bagian lain diposting secara online.
Baca juga: AS Blokir Akses untuk Kementerian Myanmar dan Bisnis Militer
"Kerusakan sistem menyebabkan pemadaman listrik di seluruh negeri," laporan Electricity Supply Corporation Yangon di Kotaputan Yankin, Yangon.
Lebih jauh ke utara di kota Magway, di sepanjang Sungai Irrawaddy, perusahaan Pasokan Listrik wilayah itu melaporkan hal yang sama.
Lagi, Satu Demonstran Tewas
Aksi brutal aparat kepolisian Myanmar menembaki para demonstran anti-kudeta militer masih terjadi hingga hari ini, Jumat (5/3/2021).
Seperti dilansir Reutes dari kesanksian saksi di lapangan, satu demonstran tewas dalam insiden di kota Mandalay Myanmar.
“Polisi menembaki di kota Mandalay Myanmar pada massa aksi protes menentang kudeta militer 1 Februari,” kata saksi dan media.
Baca juga: KBRI Yangon Tetapkan Myanmar Status Siaga II, Kemlu Kembali Keluarkan Himbauan untuk WNI
Pemuda itu ditembak di leher dan meninggal, kata media setempat.
Sebelumnya, kerumunan besar telah berbaris secara damai melalui kota melantunkan: "Zaman batu sudah berakhir, kami tidak takut karena Anda mengancam kami."
Sebelumnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut setidaknya 54 orang telah tewas sejak kudeta.
Sementara lebih dari 1.700 orang telah ditangkap, termasuk 29 wartawan.
Presiden Joe Biden bulan lalu menggulirkan sanksi terhadap Myanmar, pada mereka yang bertanggung jawab atas kudeta pemerintahan yang dipimpin sipil di negara Asia Tenggara itu, termasuk menteri pertahanan dan tiga perusahaan di sektor giok dan permata.
Terus Melawan
Aktivis pro-demokrasi Myanmar berjanji pada Kamis (4/3/2021) akan terus melawan dengan mengadakan lebih banyak aksi demonstrasi, meskipun PBB menyebut 38 orang tewas dalam dalam paling brutal dan berdarah sejak kudeta militer bulan lalu.
Pada Rabu (3/3/2021) kemarin, Polisi dan militer menembaki para demonstran dengan peluru tajam.
Jatuhnya puluhan korban jiwa dan luka-luka akibat aksi brutal aparat keamanan Myanmar itu terjadi sehari setelah negara-negara tetangga Asia Tenggara (ASEAN) menyerukan menaghan diri setelah kudeta militer terhadap pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi.
"Kami tahu bahwa kami selalu bisa kapan saja ditembak dan dibunuh dengan peluru tajam mereka tetapi tidak ada artinya untuk tetap hidup di bawah junta militer, sehingga kami memilih jalan berbahaya ini, " tegas aktivis Maung Saungkha kepada Reuters, Kamis (4/3/2021).
Kelompok Komite Aksi Mogok Massal Nasional berencana akan mengadakan aksi protes pada Kamis (4/3/2021).
"Kami akan melawan junta militer dengan cara apa pun yang kami bisa. Tujuan utama kami adalah untuk menghapus sistem junta dari akar," kata Maung Saungkha.
Postingan media sosial dari aktivis lain mengatakan setidaknya dua demonstrasi lain juga direncanakan di beberapa bagian kota Yangon. (Reuters/Channel News Asia/AFP)