Swiss Melarang Pemakaian Cadar di Tempat Umum, Komunitas Muslim: Menstigmatisasi Umat Muslim
Menyusul Prancis, Belgia, dan Austria, Swiss melarang pemakaian burqa atau cadar di tempat umum.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Citra Agusta Putri Anastasia
"Kebijakan simbolis ini ditujukan terhadap wanita dan pria Muslim," kata Swiss Federation of Islamic Umbrella Organisation dalam sebuah pernyataan.
"Tapi itu juga merusak seluruh Swiss, yang telah merusak nilai-nilainya sendiri dengan menerima inisiatif tersebut," tambahnya.
Penolakan juga datang dari aliansi pebisnis hotel dan pariwisata di Berne dan Jenewa.
Mereka menilai larangan tersebut akan mengurangi jumlah wisatawan dari negara-negara Arab.
"Larangan burqa akan merusak reputasi kami sebagai tujuan pariwisata yang terbuka dan toleran," kata Nicole Brändle Schlegel, anggota aliansi perhotelan.
Di sisi lain, pendukung referendum itu menilai larangan dimaksudkan untuk menyetop unjuk rasa anarkis di jalan dan perusuh yang mengenakan penutup wajah.
Pendukung juga menilai larangan tidak secara eksplisit menyebut agama Islam atau kata niqab dan burqa.
Baca juga: Pria Bercadar Diamankan, Nyamar Jadi Wanita demi Cari Pacar Laki-laki, Sempat Goda Calon Polisi
Baca juga: 3 Fakta Pembacokan Pesilat PSHT, Pelaku Pakai Cadar hingga Polisi Keluarkan Tembakan Peringatan
Referendum pelarangan cadar diluncurkan oleh Komite Egerkingen pada 2016 dengan slogan "Hentikan ekstremisme! Ya untuk larangan cadar."
Hasil pemungutan suara itu dikritik sebagai "anti-Muslim" oleh Amnesty International.
"Para pemilih Swiss sekali lagi menyetujui inisiatif yang mendiskriminasi satu komunitas agama pada khususnya, yang tidak perlu memicu perpecahan dan ketakutan," kata Amnesty International.
Larangan parsial dan larangan lokal untuk cadar sudah diberlakukan di beberapa negara Eropa termasuk Prancis, Jerman, Belgia, Belanda, dan Denmark.
Prancis adalah yang pertama melarang burqa dan niqab di ruang publik pada 2011.
Pada 2018, Komite Hak Asasi Manusia PBB mengatakan larangan itu melanggar hak asasi perempuan Muslim dan berisiko membatasi ruang gerak.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)