Peringatan 10 Tahun Bencana Tsunami, Ini Cerita Tiga Warga Jepang dalam Merajut Asa
Satu dekade kemudian banyak yang telah berubah di sepanjang ratusan mil garis pantai yang sebelumnya hancur.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Gempa bumi berkekuatan 9,0 skala richter melanda pantai timur laut Jepang pada 11 Maret 2011, memicu terjadinya gelombang tsunami yang menewaskan lebih dari 18.000 orang.
Tsunami ini juga menghancurkan lebih dari 120.000 bangunan dan memaksa lebih dari 450.000 orang untuk mengungsi ke tempat penampungan sementara.
Kerusakan perumahan, bisnis, jalan, serta infrastruktur lainnya pun diperkirakan mencapai 210 miliar dolar Amerika Serikat (AS), menjadikan tsunami ini sebagai bencana alam 'paling mahal' yang pernah ada.
Dikutip dari laman The Guardian, Kamis (11/3/2021), kerusakan yang diakibatkan oleh tsunami ini memicu kehancuran tiga kali lipat di pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi, memaksa puluhan ribu orang mengungsi dan mengubah wilayah di sekitarnya menjadi 'kota hantu'.
Satu dekade kemudian banyak yang telah berubah di sepanjang ratusan mil garis pantai yang sebelumnya hancur.
Taman dan ruang publik telah menggantikan bangunan yang tersapu oleh tsunami, rumah-rumah baru pun berdiri di atas tanah yang telah dibuat lebih tinggi.
Perintah evakuasi memang telah dicabut di beberapa lingkungan Fukushima, namun operasi penuh untuk menonaktifkan pembangkit nuklir yang rusak tentunya membutuhkan waktu puluhan tahun.
Saat Jepang siap memperingati 10 tahun tragedi tsunami, orang-orang yang berasal dari tiga komunitas berbicara tentang peristiwa pada hari itu, wpa yang telah berubah sejak saat itu, dan harapan mereka untuk masa depan.
Aki Sato, Pengurus Komunitas di Okuma
Aki Sato mengaku sedang bekerja di kantor hukum Tokyo saat tsunami menghancurkan Fukushima Daiichi dan memaksa penduduk Okuma yang berjarak 240 km dari fasilitas itu untuk mengungsi.
Saat itu, ia memiliki banyak alasan untuk lebih khawatir jika dibandingkan kebanyakan orang di ibu kota.
"Nenek saya tinggal di kota sebelah dan saya butuh dua hari untuk mengetahui apakah ia aman dan baik-baik saja," kata Sato.
Sato, yang mulai bosan dengan kehidupan di Tokyo, bertanya-tanya apa yang bisa ia lakukan untuk membantu para korban.