Peringatan 10 Tahun Bencana Tsunami, Ini Cerita Tiga Warga Jepang dalam Merajut Asa
Satu dekade kemudian banyak yang telah berubah di sepanjang ratusan mil garis pantai yang sebelumnya hancur.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Adi Suhendi
Saat kapalnya mulai bergoyang kencang di laut lepas Minamisanriku, Tokuji Abe mengira terjadi kesalahan pada mesinnya.
Namun saat dirinya mendengar peringatan tsunami di radio VHF-nya, ia menyadari bahwa penyebabnya adalah sesuatu yang jauh lebih mengerikan yakni gempa bumi terbesar yang pernah dialami oleh pria berusia 50 tahun itu.
Pada saat petani tiram ini kembali ke pantai keesokan harinya, kampung halamannya sudah tidak ada lagi.
Gelombang setinggi hingga 20 meter telah menghancurkan sebagian besar bangunan di Minamisanriku dan menewaskan lebih dari 800 dari total 17.000 penduduknya.
"Kapal-kapal penangkap ikan besar telah masuk ke daratan dan rumah-rumah hancur. Saya hampir tidak percaya dengan apa yang saya lihat, saya yakin bahwa seluruh keluarga saya telah meninggal," kata Abe.
Ia mendatangi kawasan trmpat tinggalnya untuk mencari rumah dan keuarganya.
Namun rumah tersebut hancur dan ayahnya telah meninggal.
"Sedikit melegakan saat mengetahui bahwa ibu, istri, dan anak saya selamat, meskipun saya merasa kasihan pada ayah saya saat saya mengatakan hal ini," kata Abe.
Perahunya adalah satu-satunya harta benda yang bisa ia selamatkan, namun tidak seorangpun di Minamisanriku yang memikirkan masa depan mereka.
"Saya hampir tidak bisa bergerak, saya bahkan tidak dapat memikirkan tentang bisnis ini, saya kelelahan, saya merasa tidak berguna," tutur Abe.
Bulan demi bulan berlalu, pikiran Abe pun beralih ke lautan dan mata pencaharian yang telah diturunkan secara turun temurun, dari generasi ke generasi.
"Laut tidak lagi memiliki puing-puing, sepertinya saya bisa mulai bertani tiram lagi, saya bisa memulai dari awal lagi. Tetapi segera setelah saya melaut untuk pertama kalinya sejak bencana, saya menyadari bahwa ini adalah satu-satunya pekerjaan yang dapat saya lakukan," jelas Abe.
Tahun lalu, anak tertua dari ketiga putranya, Kazuya, berhenti dari pekerjaannya di bidang periklanan untuk memastikan bisnis keluarga akan berlanjut setidaknya selama satu generasi lagi.
Kendati kehilangan rumah dan kakeknya, namun ia tetap bersyukur bahwa ayah ibu, saudara dan neneknya bisa selamat.
Termasuk mengembalikan mata pencaharian ayahnya yang telah berlangsung secara turun temurun.
"Saya selalu menyukai laut dan keinginan untuk menjadi seorang nelayan tidak pernah benar-benar hilanh dari pikiran saya. Jika anda bekerja dengan laut, anda harus memperhatikan kekuatan penghancurnya, namun juga bersyukur atas apa yang dapat dikembalikannya," ujar Kazuya.