Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Satu Demonstran Antikudeta Militer Tewas di Myanmar

Korban jiwa terus berjatuhan di Myanmar, Kamis (11/3/2021) kemarin satu demonstran tewas di distrik Dagon, Yangon.

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Theresia Felisiani
zoom-in Satu Demonstran Antikudeta Militer Tewas di Myanmar
STR/AFP
Sebuah kendaraan polisi menembakkan meriam air untuk membubarkan pengunjuk rasa selama demonstrasi menentang kudeta militer di Naypyidaw pada 8 Februari 2021 

TRIBUNNEWS.COM, YANGON—Jatuhnya korban jiwa masih terjadi di Myanmar.

Satu demonstran tewas pada Kamis (11/3/2021) di distrik Dagon, Yangon.

Demikian  media setempat melaporkan seperti dilansir Tribunnews.com dari Reuters, Jumat (12/3/2021).

Sejumlah orang menyatakan aksi protes anti-junta militer terhadap kudeta 1 Februari berlangsung di lokasi tersebut.

Foto-foto yang diposting di Facebook menunjukkan seorang pria tergeletak di jalan dengan darah mengalir keluar dari luka-luka di kepala. 

Baca juga: Fadli Zon: BKSAP DPR RI Kutuk Rezim Kudeta Myanmar

Organisasi hak asasi manusia, Amnesty International menyebut militer Myanmar menggunakan senjata perang dan kekuatan mematikan untuk melumpuhkan demonstran antikudeta.

Hal itu disampaikan Amnesty International pada Kamis (11/3/2021).

Berita Rekomendasi

Amnesty mengatakan telah memverifikasi lebih dari 50 video dari tindakan brutal yang dilakukan militer Myanmar terhadap demonstran.

Berdasarkan laporan PBB,  pasukan keamanan Myanmar telah menewaskan sedikitnya 60 demonstran.

Dikatakan banyak pembunuhan yang didokumentasikan berupa eksekusi di luar hukum.

Baca juga: Junta Militer Myanmar Tuding Aung Suu Kyi Terima Dana Ilegal 600 Ribu Dolar AS

Reuters tidak dapat menghubungi juru bicara junta untuk berkomentar.

Junta militer yang berkuasa pada 1 Februari, menahan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dan memicu aksi protes harian di seluruh Myanmar yang kadang-kadang menarik ratusan ribu orang ke jalanan.

Amnesty menuduh militer menggunakan senjata yang cocok di medan perang untuk membunuh demonstran.

"Ini bukan tindakan kewalahan, perwira individu membuat keputusan yang buruk," kata Joanne Mariner, Direktur Respons Krisis di Amnesty International.

"Ini adalah komandan yang tidak bertobat yang sudah terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, mengerahkan pasukan mereka dan metode pembunuhan di tempat terbuka."

Amnesty mengatakan senjata yang digunakan termasuk senapan sniper dan senapan mesin ringan, serta senapan serbu dan senapan sub-mesin.

Amnesty menyerukan untuk berhenti melakukan pembunuhan dan bebaskan tahanan.

Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan hampir 2.000 orang telah ditahan sejak kudeta.

Para pengunjuk rasa membuat barikade di seberang jalan dengan longyi, pakaian tradisional yang banyak dikenakan di Myanmar, selama demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon pada 3 Maret 2021.
Para pengunjuk rasa membuat barikade di seberang jalan dengan longyi, pakaian tradisional yang banyak dikenakan di Myanmar, selama demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon pada 3 Maret 2021. (STR / AFP)

Dalam membenarkan kudeta, junta militer mengutip dugaan kecurangan dalam pemilu November yang telah dimenangkan partai Suu Kyi.

Tuduhannya telah dibantah  komisi pemilihan umum.

Pengakuan Polisi Myanmar Yang Lari Ke India: Perintah Junta 'Tembak Sampai Mereka Mati'

Sejumlah personil kepolisian Myanmar mengaku diperintah untuk menembak mati demonstran antikudeta militer.

Namun mereka menolak untuk melakukannya dan memutuskan lari ke India.

Tha Peng adalah satu di antara personil kepolsian yang diperintahkan untuk menembaki demonstran dengan senapan mesin untuk membubarkan aksi demonstran di kota Khampat Myanmar pada 27 Februari.

Tetapi kopral polisi itu menolak perintah itu.

"Keesokan harinya, seorang petugas menelepon untuk bertanya apakah saya akan menembak," katanya.

Para pengunjuk rasa mengambil bagian dalam demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon pada 8 Februari 2021.
Para pengunjuk rasa mengambil bagian dalam demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon pada 8 Februari 2021. (YE AUNG THU/AF)

Namun pria berusia 27 tahun itu menolak lagi, dan kemudian mengundurkan diri dari kesatuan.

Pada 1 Maret, dia mengatakan dirinya meninggalkan rumah dan keluarganya di belakang Khampat.

Ia pun melakukan perjalanan selama tiga hari, lebih banyak pada malam hari untuk menghindari deteksi, sebelum menyeberang ke negara bagian Mizoram timur laut, di India.

"Saya tidak punya pilihan," kata Tha Peng kepada Reuters dalam sebuah wawancara pada hari Selasa (9/3/2021), berbicara melalui penerjemah.

Dia hanya memberikan sebagian dari namanya untuk melindungi identitasnya.

Reuters melihat kartu polisi dan KTP miliknya yang mengkonfirmasi nama itu.

Tha Peng mengatakan dia dan enam rekannya semua tidak mematuhi perintah 27 Februari dari seorang perwira tinggi, yang tidak ia sebutkan identitasnya.

Deskripsi peristiwa mirip dengan yang diberikan kepada polisi di Mizoram pada 1 Maret oleh kopral polisi Myanmar lainnya dan tiga polisi yang menyeberang ke India, menurut dokumen rahasia polisi yang dilihat oleh Reuters.

Baca juga: Suster Ann Roza Kisahkan Keberaniannya Berlutut Lindungi Demonstran di Depan Aparat Myanmar

Dokumen itu ditulis oleh pejabat polisi Mizoram dan memberikan rincian biografi dari empat individu dan akun mereka tentang mengapa mereka melarikan diri.

Itu tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu.

"Ketika gerakan pembangkangan Sipil mendapatkan momentum dan aksi protes yang diadakan oleh demonstran anti-kudeta di tempat yang berbeda kami diperintahkan untuk menembaki para demonstran," kata mereka dalam pernyataan bersama kepada polisi Mizoram.

"Dalam skenario seperti itu, kita tidak memiliki keberanian untuk menembaki masyarakat kita sendiri yang merupakan demonstran damai," kata mereka.

Junta militer Myanmar, yang menggelar kudeta pada 1 Februari dan menggulingkan pemerintah sipil negara itu, tidak menanggapi permintaan Reuters untuk berkomentar.

Junta mengatakan pihaknya bertindak dengan sangat menahan diri dalam menangani aksi demonstrasi.

Baca juga: AS Jatuhkan Sanksi Kepada Anak-anak Pemimpin Militer Myanmar

Tha Peng adalah kasus pertama yang dilaporkan oleh media polisi, yang melarikan diri dari Myanmar setelah tidak mematuhi perintah dari pasukan keamanan junta militer.

Aksi protes harian terhadap pemerintahan militer sedang digelar  di seluruh negeri dan pasukan keamanan telah bertindak brutal.

Lebih dari 60 demonstran telah tewas dan lebih dari 1.800 ditahan, kata Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, satu kelompok advokasi..

Di antara para tahanan ada nama penerima Nobel Aung San Suu Kyi, yang memimpin pemerintahan sipil.(Reuters/AFP/AP/Channel New Asia)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas