Laporan Terbaru IQAir Ungkap Lockdown Covid-19 Tingkatkan Kualitas Udara di Seluruh Dunia
Laporan terbaru dari IQAir mengungkapkan bahwa lockdown pandemi Covid-19 meningkatkan kualitas udara di sebagian besar negara.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Arif Fajar Nasucha
TRIBUNNEWS.COM - Laporan terbaru mengungkapkan bahwa lockdown pandemi Covid-19 meningkatkan kualitas udara di sebagian besar negara.
Namun, dengan dibukanya kembali pembatasan Covid-19, dikhawatirkan polutan kembali meningkat.
Mengutip CNN, Selasa (16/3/2021), laporan terbaru ini dirilis oleh Kualitas Udara Dunia 2020 IQAir.
IQAir menyatakan bahwa emisi terkait industri dan transportasi turun selama masa lockdown.
Berdasarkan data analisis, kawasan perkotaan global memiliki kualitas udara di 2020, 65 persen lebih baik daripada 2019.
Baca juga: Jangan Cuma Persingkat Libur, Mardani Ali Sera Minta Pemerintah Lockdown Terbatas di Zona Merah
Lalu, secara keseluruhan di negara yang disurvei tercatat 84 persen mengalami peningkatan kualitas udara.
"Banyak lokasi mengamati (kualitas) udara tampak lebih bersih," kata laporan itu.
IQAir merupakan sebuah perusahaan teknologi dan informasi kualitas udara global.
Baca juga: Wali Kota Tangsel Airin Bakal Lockdown Mini Khusus RT Zona Merah
Analisis Data 106 Negara
Para peneliti IQAir menganalisis data polusi dari 106 negara, khususnya mengukur PM 2.5, polutan mikroskopis yang dapat menyebabkan risiko kesehatan yang serius.
Singapura, Beijing, dan Bangkok mengalami penurunan terbesar dalam PM 2.5.
Tetapi, menurut laporan, efek ini tidak akan bertahan lama.
"Tingkat polusi udara kemungkinan akan naik ketika langkah-langkah penahanan Covid-19 berakhir dan bisnis dimulai kembali," kata laporan itu.
Secara keseluruhan, menurut laporan tersebut, lokasi di Asia Selatan dan Asia Timur terus menduduki puncak daftar tempat paling tercemar di dunia.
Bangladesh, Cina, India dan Pakistan berbagi 49 dari 50 kota paling tercemar di dunia.
Hotan, sebuah kota di wilayah Xinjiang barat China, menduduki peringkat kota paling tercemar di dunia pada 2020.
Tingkat tahunan PM 2.5 rata-rata 110,2 mikrogram per meter kubik atau 11 kali lebih tinggi dari target Organisasi Kesehatan Dunia untuk paparan tahunan.
Di puncak Hotan, level tersebut melonjak ke 264,4 di bulan Maret , jauh di wilayah "berbahaya".
Xinjiang telah menyaksikan peningkatan pesat dalam emisi batu bara dan bahan bakar fosil, kata laporan itu.
Degradasi lahan dan perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia juga telah meningkatkan parahnya kekeringan, yang menyebabkan lebih seringnya badai pasir dan badai debu yang menyebabkan polusi ekstrim.
China juga tetap menjadi produsen dan konsumen batu bara terbesar di dunia, penyumbang utama polusi PM 2.5, kata laporan itu.
Negara ini membuat langkah besar dalam energi terbarukan, tetapi sumber-sumber ini hanya menyumbang 23persen dari konsumsi energi China, sementara batu bara menyumbang 58persen.
Setelah Hotan, 13 kota paling tercemar berikutnya ada di India, di mana sumber utama polusi termasuk transportasi, konstruksi, dan pembakaran sampah.
Baca juga: Coca-Cola, Pepsi, dan Nestlé jadi Polutan Plastik Terbesar di Dunia Selama 3 Tahun Berturut-turut
Di provinsi Punjab dan Haryana utara negara itu, para petani juga mempraktikkan pembakaran tunggul dengan sengaja membakar lahan pertanian untuk menyiapkan lahan untuk panen berikutnya.
Insiden pembakaran tunggul di Punjab mencapai rekor tertinggi pada 2020, dengan kenaikan 46,5 persen dari 2019.
Laporan itu menjelaskan sekira 40 persen polusi udara di ibu kota Delhi berasal dari kebakaran pertanian Punjab.
Penurunan global dalam emisi terkait manusia pada tahun 2020 juga sebagian diimbangi oleh "peristiwa polusi udara ekstrem" seperti kebakaran hutan dan badai debu, yang terkait dengan memburuknya krisis iklim dan cuaca yang tidak dapat diprediksi di seluruh dunia.
Kebakaran hutan menghancurkan sebagian besar Amerika Serikat, Australia, Amerika Selatan, Indonesia dan banyak lagi, menyebabkan lonjakan besar polusi udara, dan mengeluarkan sejumlah besar gas rumah kaca.
Sao Paulo, Los Angeles, dan Melbourne yang semuanya terkena dampak kebakaran hutan yang parah, mengalami peningkatan tertinggi dalam level PM 2.5 dibandingkan dengan 2019.
Tapi ada titik terang juga. 25 kota paling tercemar di Asia Selatan mengalami penurunan PM 2.5 sejak 2019, atau menunjukkan tren penurunan secara keseluruhan dalam empat tahun terakhir.
Negara-negara Asia Timur juga telah melakukan upaya untuk meningkatkan kualitas udara dan tingkat PM 2.5 di kawasan tersebut umumnya cenderung menurun.
Di Korea Selatan, semua kota mengalami peningkatan kualitas udara pada 2020, setelah langkah-langkah baru diberlakukan untuk mengendalikan dampak musiman batu bara terhadap polusi udara.
Berita lain terkait virus corona, lihat di sini.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.