Militer Myanmar Telah Bunuh Lebih dari 500 Orang dalam 2 Bulan, Apa Peran Komunitas Internasional?
Militer Myanmar telah membunuh lebih dari 500 orang dalam 2 bulan. Lantas apa peran komunitas internasional untuk atasi konflik ini?
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
TRIBUNNEWS.COM - Awal 1 Februari 2021 lalu, para pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi Myanmar (partai pro-demokrasi di negara itu), ditahan selama penggerebekan militer dan ditempatkan di bawah tahanan rumah.
Pagi harinya, orang-orang Myanmar melihat tank-tank besar meluncur di kawasan pejalan kaki, pasukan polisi berkeliaran di jalan, dan junta militer sekali lagi mengambil alih kekuasaan.
Militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw, mengklaim pemilihan umum pada November 2020 di negara itu telah dicurangi untuk mendukung NLD, meskipun tidak ada bukti untuk mendukung klaim mereka.
Junta segera membatasi akses media dan internet dan memasang jam malam yang ketat.
Mynamar telah menghabiskan lebih dari 50 tahun di bawah kekuasaan militer sebelum dipindahkan ke pemerintahan sipil pada tahun 2011.
Baca juga: Dewan Keamanan PBB Diminta Segera Bertindak Hindari Pertumpahan Darah di Myanmar
Baca juga: Negara Bagian India Izinkan Pengungsi Myanmar Masuk Ke Wilayannya
Sekarang, warga Burma seperti kembali ke masa lalu.
Tapi kali ini, rakyat turun ke jalan untuk melawan.
Sejak itu, lebih dari 500 warga sipil tewas selama protes yang menentang pemerintahan Tatmadaw, INSIDER mengabarkan.
Pengunjuk rasa Myanmar terus maju meski ratusan orang jadi korban
Junta merebut kekuasaan pada 1 Februari, menyebabkan Myanmar jatuh ke dalam kekacauan politik.
Dalam beberapa hari, orang Burma mulai turun ke jalan untuk memprotes secara damai terhadap kudeta. Banyak yang melakukan penghormatan tiga jari dari "The Hunger Games", sebuah simbol oposisi terhadap pemerintahan tirani.
Pengunjuk rasa anti-junta Burma terlibat dalam pembangkangan sipil dengan niat damai, bukan kekerasan.
Tetapi mereka menghadapi kekerasan brutal dari anggota militer dan polisi.
Kekerasan terjadi secara bergelombang selama dua bulan berikutnya, mencapai puncaknya akhir Maret lalu ketika bentrokan antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan negara itu menewaskan 114 orang.