3 Bulan Kudeta Militer Myanmar, Terjadi 11 Ledakan selama 36 Jam
Sejumlah ledakan terjadi di Myanmar, di antaranya di fasilitas militer dan pemerintah hingga di luar rumah seorang pengusaha terkemuka.
Penulis: Rica Agustina
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
TRIBUNNEWS.COM - Fasilitas militer dan pemerintah Myanmar yang telah diamankan sejak kudeta 1 Februari 2021, dilanda serangan roket dan ledakan kecil.
Dikutip dari Channel News Asia, media berita Khit Thit melaporkan, ledakan juga terjadi di luar barak polisi di Yangon pada Minggu (2/5/2021) pagi.
Belum dikonfirmasi ledakan tersebut memakan korban atau tidak, tetapi akibat serangan itu kendaraan terbakar.
Kemudian, dilaporkan ada ledakan lain yang juga terjadi di Yangon.
Sebuah media berita di Negara Bagian Shan melaporkan, ledakan terjadi di luar rumah seorang pengusaha terkemuka.
Baca juga: Ditahan Otoritas Myanmar Sejak 2018, Nelayan Asal Aceh Jamaluddin Akhirnya Dipulangkan ke Tanah Air
Adapun media berita yang dikelola pemerintah, dalam buletin malam utamanya pada Sabtu (1/5/2021) memberikan rincian setidaknya 11 ledakan terjadi selama 36 jam sebelumnya.
Diketahui, sebagian besar ledakan terjadi di Yangon, satu di antara kota terbesar di Myanmar.
Tidak diketahui ledakan-ledakan itu ulah warga sipil, militer atau kelompok tertentu.
Namun, penyiar media berita yang dikelola junta menyebut, pelaku adalah oknum perusuh yang tidak menginginkan stabilitas negara.
"Beberapa perusuh yang tidak menginginkan stabilitas negara telah melemparkan dan menanam bom buatan tangan di gedung-gedung pemerintah dan di jalan umum," kata penyiar itu.
Baca juga: Delapan Pendemo Tewas Dalam Aksi Anti-Kudeta Junta Militer di Seluruh Myanmar
7 Orang Ditembak Pasukan Keamanan
Sementara itu, pada Minggu (2/5/2021), pasukan keamanan kembali menggunakan kekerasan untuk meredam aksi protes demonstran antikudeta.
Pasukan keamanan melepaskan tembakan ke beberapa aksi protes besar-besaran yang terjadi di beberapa wilayah.
Dua orang tewas di pusat Kota Wetlet, kata kantor berita Myanmar Now, dan dua orang tewas di berbagai Kota di Negara Bagian Shan di timur laut, dua media melaporkan.
Satu orang juga tewas di kota pertambangan giok utara Hpakant, Grup Berita Kachin melaporkan.
Reuters tidak dapat memverifikasi laporan tersebut, dan juru bicara junta juga enggan menjawab panggilan saat dimintai komentar.
Namun, pada April 2021 lalu, militer mengakui bahwa 248 demonstran telah terbunuh oleh pasukannya, dan mengatakan mereka dibunuh setelah memulai kekerasan terlebih dahulu.
Lain halnya dengan pengakuan pihak junta, Kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan, pasukan keamanan telah menewaskan sedikitnya 759 pengunjuk rasa sejak kudeta.
Tak hanya itu, akibat krisis yang melanda Myanmar, menurut prakiraan PBB, ribuan warga sipil telah mengungsi.
Program Pembangunan PBB memperingatkan, protes dan kampanye pembangkangan sipil telah melumpuhkan ekonomi dan meningkatkan kemungkinan 25 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan.
Revolusi Musim Semi Myanmar
Aksi protes di sejumlah wilayah di Myanmar dilaporkan telah berkurang, karena beberapa aktivis ditahan oleh pasukan keamanan.
Baca juga: Militer dan Milisi Berperang, Ribuan Penduduk Myanmar Melarikan Diri ke Thailand
Namun demikian, demonstran antikudeta masih mendapatkan dukungan dari komunitas antikudeta Myanmar di seluruh dunia.
Pihak penyelenggara komunitas antikudeta Myanmar menggemakan 'Revolusi Musim Semi Myanmar' pada Minggu (2/5/2021)
"Guncang dunia dengan suara persatuan rakyat Myanmar," kata penyelenggara dalam sebuah pernyataan.
Arus demonstran di Myanmar, beberapa dipimpin oleh biksu Buddha yang berjalan melalui kota-kota di seluruh negeri, termasuk di Yangon dan Mandalay.
Upaya perlawanan juga terjadi di daerah perbatasan terpencil di utara dan timur.
Perang dengan pemberontak etnis minoritas telah meningkat secara signifikan sejak penggulingan Aung San Suu Kyi.
Berita lain terkait Krisis Myanmar
(Tribunnews.com/Rica Agustina)