Delapan Pendemo Tewas Dalam Aksi Anti-Kudeta Junta Militer di Seluruh Myanmar
Delapan pendemo tewas sewaktu junta militer Myanmar hadapi protes besar-besaran Global Myanmar Spring Revolution dengan kekerasan.
Penulis: hasanah samhudi
TRIBUNNEWS.COM, YANGON - Sejumlah protes besar-besaran dalam beberapa hari ini mendapat tanggapan keras dari pasukan keamanan, menyebabkan ratusan orang tewas di seluruh penjuru negeri.
Sedikitnya delapan orang tewas di Myanmar ketika pasukan keamanan menembaki aksi protes menentang junta militer, Minggu (2/5)
Protes kemarin adalah yang terbesar yang terjadi beberapa hari terakhir, setelah negeri itu menghadapi kekacauan politik akibat kudeta militer tiga bulan lalu.
Ribuan orang di seluruh negeri bergerak bersama dalam aksi-aksi protes hari Minggu (2/5) lalu. Mereka menyerukan dilakukannya apa yang disebut “Revolusi Musim Semi Myanmar Global.”
Aksi-aksi protes itu mendukung protes anti-kudeta juga terjadi di luar Myanmar, ketika Paus Francis menyerukan perlunya kedamaian.
Baca juga: Ledakan Terjadi di Pangkalan Udara Myanmar Setelah Diserang Roket
Mengutip kantor berita Mizzima, dua orang dilaporkan ditembak dan tewas di lokasi dalam aksi protes di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar.
Sementara situs berita Irrawaddy menayangkan sebuah potret seorang pria yang disebutkan sebagai seorang petugas keamanan berpakaian preman membidik dengan senjata laras panjang di Mandalay.
Tiga korban tewas lainnya terjadi di pusat kota Wetlet, seperti dilaporkan kantor berita Myanmar.
Sementara dua media massa setempat melaporkan, dua orang lainnya tewas di dua kota berbeda di negara bagian Shan, di timur laut Myanmar.
Dan Grup Media Kachin melaporkan, seorang tewas di Hpakant, sebuah kota pertambangan giok di belahan utara.
Namun Kantor Berita Reuters belum dapat mengkonfirmasikan laporan-laporan tersebut. Sementara juru bicara junta militer tidak menanggapi permintaan konfirmasi tersebut.
Baca juga: Setelah KTT ASEAN, Junta Myanmar Mau Hentikan Kekerasan Jika Kondisi Negara Sudah Stabil
Pihak militer mengambilalih kekuasaan dari pemerintahan terpilih Aung San SuuKyi dan partai berkuasa Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dalam aksi kudeta pada 1 Januari lalu.
Tindakan inimenimbulkan serangkaian gerakan penentangan dan aksi massa di seluruh negeri.
Situasi di Myanmar makin memburuk dengan meningkatkan konflik yang sudah terjadi lama antara kelompok bersenjata di daerah perbatasan utara dan timur. Pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan situasi inimembuat puluhan ribu warga sipil tercerai berai.
Sejauh ini junta militer menghadapi aksi protes dengan tangan besi, baik melakukan penahanan maupun penembakan.
Junta tak mengacuhkan seruan dari sejumlah negara tetangga dan PBB agar menghentikan kekerasan.
Di Yangon, anak-anak muda Myanmar berkumpul di sebuah pojokan jalan sebelum mereka berkonvoi bersama menuju pusat kota. Namun mereka akhirnya bubar untuk menghindari bentrokan dengan junta.
Baca juga: Baru 2 Hari Pemimpin ASEAN Hasilkan Konsensus, Tentara Myanmar Sudah Tembak Mati Rakyatnya
“Target kami adalah menjatuhkan kediktatoran militer,” teriak mereka, sembari mengacungkan tiga jari sebagai symbol penentangan.
Di Negara Bagian Shan, para pemuda membentanglan spanduk bertuliskan “Kami menolak diperintah.”
Sejumlah ledakan bom dilaporkan terjadi di sejumlah bagian di Yangon hari Minggu lalu.
Serangkaian ledakan itu telah terjadi dan dalam intensitas yang terus meningkat di bekas ibukota dan junta militer menyalahkan hal itu pada “provokator.”
Sejauh ini belum ada klaim siapa yang bertanggung jawab adalah ledakan-ledakan bom itu.
Baca juga: Militer dan Milisi Berperang, Ribuan Penduduk Myanmar Melarikan Diri ke Thailand
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), yang memantau situasi, mengatakan pasukan militer telah menewaskan sedikitnya 765 demonstran sejak terjadinya kudeta. Selain itu, 4.609 orang dilaporkan telah ditahan.
Militer, yang menilai AAPP sebagai organisasi illegal, mengakui bahwa 258 telah tewas, bersama dengan 17 polisi dan tujuh tentara.
Myanmar dikuasai militer hamper 50 tahun, hingga mereka melakukan proses reformasi 10 tahun lalu.
Panglima militer Min Aung Hlaing menyatakan, kudeta diperlukan karena adanya dugaan kecurangan dalam pemilihan umum November lalu yang dimenangkan telak oleh NLD.
Sementara Komisi Pemilihan Umum mengaku tidak mendapati adanya bukti pelanggaran ataupun kecurangan.
Konflik berkepanjangan di Myanmar ini telah membuat khawatir masyarakat internasional.
Serangkaian aksi protes dukungan bagi gerakan anti-kudeta berlangsung di Taipei hingga Vancouver dan London, di mana politisi Hong Kong yang tinggal di pengasingan, Nathan Law, mendukung aksi protes ini.
“Kita perlu menggerakkan system global untuk menghukum dictator dan menghentikan mereka dari membunuhi orang,” ujar Nathan.
“Kita memerlukan sebuah pemerintahan yang melayani rakyat, bukan meneror mereka. Kita perlu para pemimpin yang memimpin kita, bukan meminta kita tunduk pada mereka,” tambahnya. (Aljazeera/Hasanah Samhudi)