Analisis Konflik Israel-Palestina, Netanyahu-Hamas Punya Pakta Politik Tak Tertulis
Para pemimpin di Gaza tahu Israel di bawah Benjamin Netanyahu melestarikan cengkeraman Hamas di Jalur Gaza.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, TEL AVIV – Kolumnis media Haaretz, Dmitry Shumsky, mengatakan, konflik terbaru Palestina merupakan buah persekutuan politik tersembunyi antara Benyamin Netanyahu dan kelompok Hamas.
Mewakili aspirasi dan kepentingan politik kelompok sayap kanan Israel, Benyamin Netanyahu sejak berkuasa 2009 membuat ‘pakta tak tertulis’ dengan Hamas.
Lewat artikel opininya di Haaretz, Sein (17/5/2021), Dmitry Shumsky menyebut kebanyakan orang Israel tak menyadari alasan yang mendasari keberanian ekstrim Hamas, meluncurkan ribuan roket ke Israel.
Para pemimpin kelompok berkuasa di Gaza itu tahu Israel di bawah Benjamin Netanyahu tidak hanya enggan mengakhiri cengkeraman Hamas di Jalur Gaza, tetapi juga ingin melestarikannya.
Itu pernah diungkapkan Haim Ramon, mantan Wakil Perdana Menteri dan Menteri Kehakiman Israel. Kesepakatan itu dirancang untuk melemahkan Otoritas Palestina dan pemimpinnya.
Juga melanggengkan keretakan hubungan antara Hamas di Gaza dan Otoritas Palestina di Tepi Barat, sekaligus melemahkan Presiden Mahmoud Abbas.
Baca juga: Netanyahu Petik Keuntungan Politik Pribadi Atas Perang Besar Israel-Palestina
Baca juga: Sidang Korupsi Terhadap PM Israel Netanyahu Dilanjutkan di Yerusalem
Israel juga berusaha mempertahankan pembekuan hubungan diplomatik, berdasarkan klaim Otoritas Palestina tidak mewakili semua orang Palestina.
Netanyahu tetap pada sikap ini selama serangan udara November 2012 dan perang Gaza 2014, di mana Hamas ditawari gencatan senjata tidak kurang dari 10 kali.
Selain itu, sejak 2012, Netanyahu telah membiarkan Qatar mentransfer dana $ 1 miliar ke Gaza, setidaknya setengahnya ke Hamas, termasuk sayap militernya.
Bagi Netanyahu, ada alasan untuk menciptakan situasi warga Israel sebagai sandera Hamas, agar Otoritas Palestina tak kembali memerintah Gaza.
Ini akan memastikan proses diplomatik yang menghancurkan (Israel) tidak berlanjut.
Dalam bukunya yang berbahasa Ibrani “Against the Wind,” Haim Ramon memberikan bukti menarik yang mendukung klaimnya tentang pakta tak tertulis antara Netanyahu dan Hamas.
Motif Netanyahu terkait komitmennya terhadap gagasan Tanah Israel yang tidak terbagi dan usahanya untuk mencegah keadaan yang memungkinkan negara Palestina didirikan.
The Jerusalem Post melaporkan pada 12 Maret 2019, Benyamin Netanyahu, berbicara kepada kaukus Likud di Knesset.
Ia mengatakan "siapa pun yang menentang negara Palestina harus menjadi pihak" - seperti yang dijelaskan oleh surat kabar itu dengan kata-katanya sendiri - "mentransfer dana ke Gaza”.
Alasannya, mempertahankan pemisahan antara Otoritas Palestina di Tepi Barat dan Hamas di Gaza membantu mencegah pembentukan negara Palestina. (Ini ada di halaman 417 dari buku Ramon.)
Dalam sebuah wawancara dengan situs Ynet pada 5 Mei 2019, teman dekat Perdana Menteri Netanyahu, Mayjen (Purn) Gershon Hacohen, mengatakan “kebenaran harus dinyatakan”.
Menurutnya, strategi Netanyahu adalah mencegah solusi dua negara. Jadi dia telah menjadikan Hamas mitra terdekatnya. Secara terang-terangan, Hamas adalah musuh. Secara diam-diam, itu adalah sekutu.
Ramon juga mencatat tweet Channel 13 News pada 20 Mei 2019 yang mengutip mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak.
“Netanyahu tidak menginginkan solusi dua negara, lebih memilih pemisahan antara Gaza dan Tepi Barat, seperti yang dia katakan pada saya pada 2010. ”
Mubarak mengatakan ini dalam wawancara dengan surat kabar Kuwait al-Anba.
Tidak diragukan lagi, bersamaan digelarnya pengadilan Netanyahu, Menteri Keamanan Publik Amir Ohana, di bawah bimbingan diam-diam bosnya atau atas inisiatifnya sendiri, bertindak dengan cara yang telah diperhitungkan.
Ia menciptakan kondisi yang dipicu provokasi polisi di Temple Mount dan di Yerusalem Timur selama bulan Ramadhan.
Idenya adalah, kebakaran itu akan menghanguskan harapan untuk membentuk pemerintahan pro-perubahan.
Menyeret negara (Israel) ke pemilu kelima, dengan sayap kanan memastikan kemenangan mengejutkan menyusul radikalisasi publik setelah babak berdarah baru dalam konflik Israel-Palestina.
Untuk menggagalkan rencana ini, kelompok kiri tengah harus memuka mata publik, memperkuat cengkeraman dan blockade Hamas di Jalur Gaza adalag strategi diplomatic Netayahu.
Ia berusaha mencegah peluang perundingan guna menemukan solusi kemerdekaan P{alestina dan mencegah eksisnya kepemimpinan Palestina yang moderat.
Publik harus mengenali arah politik ini, kelanjutan pemerintahan Netanyahu, koalisi sayap kanan yang menentang solusi diplomatik dan pembagian tanah Israel.
Karena itu Bibi (Netanyahu membutuhkan Hamas yang kuat.(Tribunnews.com/Haaretz/xna)