Bantah Kabur, Ashraf Ghani Bersumpah Akan Kembali Ke Afghanistan Tegakkan Keadilan Bagi Warganya
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani yang kini mengasingkan diri berbicara kepada publik bahwa dirinya akan kembali ke Afghanistan dalam waktu dekat.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Adi Suhendi
Namun, angka itu hingga saat ini belum bisa dikonfirmasi.
"Saya berharap dalam beberapa hari mendatang kita akan mengatasi masalah ini dan Afghanistan akan mengalami perdamaian dan stabilitas," jelas Ghani.
Ia kemudian berjanji akan merinci peristiwa yang mendorong keputusannya untuk pergi dari Afghanistan di lain waktu.
Ghani juga menyambut baik pembicaraan yang dilakukan pejabat Taliban dan mantan Presiden Afghanistan Hamid Karzi, yang baru-baru ini mengumumkan bahwa ia telah meluncurkan kelompok koalisi untuk memastikan perdamaian bagi negara tersebut.
Pernyataan terbaru Ghani muncul beberapa saat setelah Kementerian Luar Negeri Uni Emirat Arab (UEA) mengkonfirmasi bahwa Ghani dan keluarganya diizinkan masuk ke negara itu dengan alasan kemanusiaan.
Namun, rilis singkat itu tidak menjelaskan secara spesifik tentang kondisi suaka apa yang diterima Ghani dan keluarganya dan di mana mereka tinggal.
Baca juga: Cerita WNI yang Tinggal di Afghanistan Saat Pasukan Taliban Memasuki Kabul
Selain itu, tidak jelas pula bagaimana Ghani bisa mendanai masa tinggalnya di UEA.
Awalnya diyakini bahwa ia telah melarikan diri ke Tajikistan atau Uzbekistan sebelum dikonfirmasi pada Rabu pagi bahwa ia ternyata melarikan diri ke UEA.
Sejak pengumuman bahwa AS akan menarik diri dari negara yang dilanda perang itu, Taliban terus membuat langkah untuk mendapatkan kembali kendali atas sebagian besar wilayah Afghanistan dalam waktu singkat.
Kelompok pemberontak itu tidak mengalami perlawanan dari pasukan Afghanistan yang dilatih AS, saat memasuki Kabul pada hari Minggu lalu.
Ini secara otomatis mengakhiri hampir 20 tahun pertempuran dengan pasukan Amerika.
Sebelumnya, Taliban yang telah memerintah negara itu selama beberapa dekade, dipaksa keluar dari pemerintahan dengan munculnya invasi yang dipimpin AS pada 2001.
Ini didorong oleh penolakan pejabat Taliban untuk menyerahkan Osama bin Laden dan menutup kamp pelatihan al-Qaeda setelah serangan teroris 9/11 (9 September).