Cerita WNI yang Tinggal di Afghanistan Saat Pasukan Taliban Memasuki Kabul
Taliban menyatakan akan membentuk pemerintahan baru di tengah gelombang evakuasi warga negara barat.
Editor: Hasanudin Aco
Teuku Faizasyah mengatakan "proses ini masih sangat cair (fluid)" sehingga Indonesia perlu terlebih dulu melihat perkembangan ke depan.
Kendati begitu dia tak menjawab saat BBC News Indonesia menanyakan apakah pemerintah sudah berencana mengontak pemerintahan baru Taliban atau bakal memilih langkah lain.
Peneliti Timur Tengah dari LIPI, Nostalgiawan Wahyudhi, menilai "menunggu" adalah pilihan yang tepat. Indonesia, menurut dia, perlu berhati-hati dan tak gegabah menentukan sikap untuk mengakui atau menolak pemerintahan baru bentukan Taliban.
"Memang kita harus wait and see ya, perpindahan kekuasaan di sebuah negara kan kita tidak tahu seperti apa," terang Nostalgiawan.
"Namun untuk ancang-ancang, yang diambil Indonesia untuk tidak over-reaktif itu memang cukup baik. Dalam arti, siapapun yang berkuasa itu kita akan wait and see, apakah dilihat kondisi negara itu chaos atau tidak," sambungnya.
Selain karena tak ada ketergantungan secara ekonomi maupun politik dengan Afghanistan, Nostalgiawan mengungkapkan, Indonesia tidak pernah memiliki sejarah konflik sehingga mengharuskan negara bergegas menentukan sikap. Sehingga tak ada urgensi untuk cepat-cepat menentukan sikap.
Ia menyarankan pemerintah Indonesia untuk menunggu dan menyaksikan apakah Taliban sungguh-sungguh mewujudkan komitmen mereka seperti dalam jumpa pers pertama ataukah sebaliknya.
Nostalgiawan mengatakan, jangan sampai kebijakan politik yang keliru dan reaksi berlebihan terhadap apa yang terjadi di Afghanistan justru akan merugikan Indonesia kelak.
"Jadi kita tidak pada posisi yang terlalu ekstrem seperti Amerika yang pernah di Afghanistan," kata Nostalgiawan.
Menakar janji Taliban mengubah kebijakan
Taliban merebut ibu kota Afghanistan, Kabul, pada Minggu (15/8/2021), 20 tahun setelah mereka digulingkan Amerika serikat dan sekutunya dari kekuasaan.
Dua hari setelahnya, Juru Bicara Taliban Zabihullah Mujahid menyatakan akan membentuk pemerintahan "Islamis yang kuat" dan memberikan amnesti kepada mereka yang pernah bekerja dengan pihak asing.
Nostalgiawan mengklaim pemerintahan baru kemungkinan akan berbeda dari masa kepemimpinan 1996-2001, yang terkenal dengan hukuman di muka umum, termasuk rajam dan pembatasan ketat terhadap perempuan.
Mujahid juga menjanjikan perempuan akan menikmati hak sesuai syariah, sementara media swasta bisa bertugas secara bebas dan independen.
Mengamati itu, Nostalgiawan mengaku tak terlalu optimistis akan perubahan Taliban.
Konferensi pers Taliban itu tutur Nostalgiawan, boleh jadi menjadi upaya mereka untuk mendapatkan simpati politik.
"Tapi bisa jadi juga sebagai upaya mekanisme pembelajaran yang mereka lakukan, bagaimana kegagalan mereka menguasai Afghanistan yang sebelumnya ya."
Ia menerangkan, puluhan tahun silam Taliban pernah tersudut di titik terendah di mana langkah politik mereka malah berujung pada konflik berdarah, kehilangan akses kekuasaan, terusir dari pusat pemerintahan dan, tak mendapatkan dukungan dari warganya sendiri.
"Jadi dengan mengambil posisi yang tidak terlalu kontra mungkin banyak yang bisa kita kerjasamakan, tidak ada masalah," tutur Nostalgiawan.
"Kalau pengelolaan negaranya sama dengan Taliban yang sebelumnya, kita juga tidak dalam posisi yang telanjur nyemplung mengatakan mendukung kan. Kita bisa menghindar untuk tidak ikut campur kan," imbuh dia.
Alih-alih memilih sikap ekstrem dengan mengakui pemerintahan baru Taliban atau menolaknya, Nostalgiawan justru melihat peluang Indonesia bisa mengambil pendekatan dialog dan mendamaikan, bertolok pada sejarah perdamaian yang pernah dikerjakan negara ini.
Ia pun menyinggung soal mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sempat mengundang perwakilan Taliban.
Menurut dia, saat itu Taliban menunjukkan respons positif.
"Upaya-upaya ketika Taliban ke Indonesia dan melakukan dialog dan bertukar pikiran itu termasuk salah satu tanda dalam human relationship, baik itu secara politik ataupun sosial itu berarti kan mereka masih bisa berdialog," papar Nostalgiawan.
"Alangkah baiknya jika posisi Indonesia masih sama... Di posisi mendamaikan. Itu kalau dalam pendekatan luar negeri dan diplomasi jauh lebih baik dibandingkan kita langsung secara gegabah masuk ke salah satu pihak yang sebetulnya kita tidak perlu," kata dia meyakinkan.