Bentrok Milisi dan Militer Myanmar di Perbatasan India: Rumah Warga Dibakar, 10 Ribu Orang Mengungsi
Pertempuran antara milisi dan militer Myanmar menyebabkan 20 rumah warga terbakar dan puluhan ribu orang mengungsi.
Penulis: Rica Agustina
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Setelah pemerintah bayangan yang dibentuk penentang junta mengumumkan pemberontakan pada 7 September 2021, pertempuran antara milisi dan militer Myanmar terus terjadi.
Adapun sejak akhir pekan lalu, pertempuran antara Pasukan Pertahanan Chin dengan militer terjadi di Thantlang di Negara Bagian Chin.
Foto-foto yang beredar di media sosial menunjukkan sekitar 20 rumah di wilayah tersebut dilalap api.
Menurut laporan penduduk dan media, bangunan yang merupakan rumah warga, dibakar oleh artileri milik militer.
Selain membakar rumah warga, militer juga menembak seorang pendeta Kristen yang mencoba memadamkan api, lapor portal berita Myanmar Now sebagaimana dilansir CNN.
Baca juga: Pidato Sidang Umum PBB, Jokowi Singgung Marginalisasi Perempuan di Afghanistan hingga Krisis Myanmar
The Global New Light of Myanmar mengatakan pendeta tersebut tewas dan kematiannya sedang diselidiki.
Salai Thang, seorang pemimpin masyarakat, mengatakan empat warga sipil turut menjadi korban pertempuran tersebut.
Sebanyak 15 orang terluka dalam konflik milisi dan militer yang menggunakan serangan udara setelah pangkalan militer diserbu.
Sementara itu, pihak Pasukan Pertahanan Chin mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa 30 tentaranya telah tewas.
Reuters tidak dapat secara independen mengkonfirmasi kabar tersebut dan seorang juru bicara militer pun tidak menjawab panggilan saat dimintai komentar.
Baca juga: Komnas Perempuan Kecam Serangan Terhadap Perempuan Pembela HAM di Afghanistan dan Myanmar
Lebih lanjut, seorang kerabat pendeta yang meninggal mengatakan bahwa hanya beberapa orang yang tersisa di Thantlang, termasuk sekitar 20 anak di panti asuhan.
"Pembunuhan seorang pendeta Baptis dan pemboman rumah-rumah di Thantlang, Negara Bagian Chin adalah contoh terbaru dari neraka hidup yang disampaikan setiap hari oleh pasukan junta terhadap rakyat Myanmar," kata Thomas Andrews, pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar.
Pertumpahan darah di daerah-daerah seperti Negara Bagian Chin terjadi setelah Pemerintah Persatuan Nasional, sebuah pemerintahan bayangan, mengumumkan pemberontakan pada 7 September dan menyerukan milisi yang baru dibentuk untuk menargetkan junta.
Upaya Tentara Pertahanan Rakyat untuk menghadapi tentara yang diperlengkapi senjata dengan baik sering mengakibatkan warga sipil terjebak dalam baku tembak dan terpaksa melarikan diri.