Cerita Wanita Kolombia yang akan Disuntik Mati Minggu Ini: Mengaku Tenang dan Lebih Banyak Tertawa
Seorang wanita asal Kolumbia akan menjalani suntik mati minggu ini. Sembari menunggu, ia mengaku tenang, lebih banyak tertawa dan dapat tidur nyenyak
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Citra Agusta Putri Anastasia
TRIBUNNEWS.COM - Martha Sepúlveda Campo, seorang wanita Kolombia berusia 51 tahun, tersenyum di depan kamera televisi sambil bercanda dengan putranya dan minum bir untuk "merayakan" momen penting dalam hidupnya.
Dilansir NBC News, Minggu ini, 10 Oktober 2021, Martha akan menjalani suntik mati atau euthanasia.
"Dari tingkat spiritual, saya benar-benar tenang," ujar Martha dalam sebuah wawancara dengan jaringan televisi Kolombia, Noticias Caracol.
Martha mendefiniskan dirinya sebagai seorang Katolik yang sangat beriman.
Ia akan menjadi pasien pertama dengan penyakit non-terminal yang menerima euthanasia di Kolombia.
Selama ini, Kolombia dianggap sebagai negara pelopor dalam hak atas "kematian yang bermartabat," baik di Amerika Latin maupun secara global.
"Tuhan tidak ingin melihat saya menderita, dan saya percaya bahwa tidak seorang pun, tidak ada orang tua yang ingin melihat anak-anaknya menderita," kata Martha, yang menderita penyakit degeneratif sejak 2019.
Seiring waktu, gejalanya semakin parah, sampai dia tidak bisa lagi berjalan tanpa bantuan.
Martha didiagnosis amyotrophic lateral sclerosis, atau ALS, penyakit sistem saraf yang memengaruhi mobilitas tubuh.
"Dalam keadaan saya ini, hal terbaik yang bisa terjadi pada saya adalah beristirahat," katanya.
Kolombia adalah negara pertama di Amerika Latin yang mendekriminalisasi euthanasia sejak tahun 1997.
Kolombia juga merupakan salah satu dari sedikit negara di dunia yang prosedur euthanasia-nya dianggap legal.
Namun, hingga tahun ini, euthanasia hanya diperbolehkan pada pasien dengan penyakit mematikan.
Pada 22 Juli 2021, Mahkamah Konstitusi Kolombia memperluas hak, mengizinkan prosedur euthanasia asalkan pasien menderita penderitaan fisik atau mental yang intens akibat cedera tubuh atau penyakit serius dan tidak dapat disembuhkan, menurut badan EFE.
Setelah mendengar keputusan itu, empat hari kemudian, Martha mengajukan izin euthanasia.
Permintaannya dikabulkan pada 6 Agustus 2021.
"Saya lebih tenang sejak prosedur itu disahkan. Saya lebih banyak tertawa, saya tidur lebih tenang," katanya.
Martha telah mendapat dukungan sebagian besar keluarganya.
11 saudara kandungnya setuju dengan prosedur tersebut.
Putranya selalu berada di sisinya di hari-hari terakhirnya.
"Saya membutuhkan ibu saya, saya ingin dia bersama saya, hampir dalam kondisi apa pun, tetapi saya tahu bahwa dalam kata-katanya, dia tidak lagi hidup, dia hanya bertahan," kata Federico Redondo Sepúlveda kepada Noticias Caracol.
Namun, tidak semua orang dalam keluarga setuju, terutama karena alasan agama.
"Soal ibu saya, masalahnya menjadi lebih sulit," kata Martha.
"Tetapi saya pikir jauh di lubuk hatinya dia juga memahaminya."
Keputusannya juga menjalani euthanasia menuai kritik keras, apalagi di negara dengan mayoritas penganut Katolik Roma dan di mana gereja masih menyebut eutanasia sebagai "pelanggaran serius."
Konferensi Waligereja Kolombia bahkan kritik setelah keputusan pengadilan pada bulan Juli.
Monsignor Francisco Antonio Ceballos Escobar mengatakan bahwa euthanasia adalah "pembunuhan yang sangat bertentangan dengan martabat pribadi manusia dan rasa hormat ilahi dari penciptanya."
Ia juga menyebut sebaiknya negara merawat orang sakit daripada memfasilitasi prosedur euthanasia, outlet berita lokal melaporkan.
Martha sebenarnya menyadari hal itu.
Ia juga telah mendiskusikannya dengan para pendetanya.
"Saya tahu bahwa pemilik kehidupan adalah Tuhan, ya. Tidak ada yang bergerak tanpa kehendaknya," katanya.
Namun, dia juga berpikir Tuhan mengizinkan tindakannya.
Camila Jaramillo Salazar, seorang pengacara untuk keluarga Sepúlveda, mengatakan keputusan Martha telah mendapatkan banyak dukungan dari Kolombia, meskipun ada kritik dari gereja Katolik.
Menurut valoraanalitik.com, lebih dari 72 persen dari mereka yang disurvei oleh jajak pendapat terbaru Invamer di Kolombia mengatakan mereka setuju dengan euthanasia.
Persentase yang lebih tinggi bahkan terlihat di kota-kota terbesar di negara itu.
"Mungkin Kolombia bisa menjadi negara terkemuka dalam hal kemajuan kematian yang bermartabat," kata pengacara itu kepada Noticias Caracol.
Eutanasia didekriminalisasikan pada tahun 1997 dalam kasus penyakit parah atau mematikan, yaitu ketika pasien menderita banyak rasa sakit.
Pasien dapat memintanya secara sukarela dan dilakukan oleh dokter.
Namun, pemerintah belum memberikan aturan yang mengizinkan prosedur itu hingga 20 April 2015.
Sejak itu, hanya 157 prosedur yang telah dilakukan di negara tersebut, menurut data dari Kementerian Kesehatan.
Untuk setiap lima permintaan euthanasia, dua diotorisasi, kata DescLAB, Laboratorium Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Pasien euthanasia pertama di negara itu adalah Ovidio González Correa.
Ovidio merupakan seorang pria berusia 79 tahun dengan wajah cacat oleh tumor.
Ia kemudian menjadi simbol perjuangan untuk hak euthanasia.
Kini, giliran Martha Sepúlveda yang mencatatkan sejarah sebagai orang pertama tanpa penyakit mematikan yang akan menjalani euthanasia.
"Karena kami selalu pergi ke gereja pada hari Minggu, ke Misa, saya memilih hari itu," katanya.
Ketika ditanya tentang mereka yang berpikir dia seharusnya berjuang untuk hidup dan bukannya meminta kematian, Martha mengatakan dia juga sudah melalui perjuangan.
"Saya akan menjadi pengecut, tetapi saya tidak ingin menderita lagi," katanya.
"Untuk berjuang? Saya berjuang untuk beristirahat."
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)