Gadis di Bawah Umur Afghanistan Dinikahkan dengan Pria Paruh Baya, Imbalannya Ternak atau Senjata
Kemiskinan di Afghanistan memaksa orangtua menikahkan anak gadisnya yang di bawah umur dengan pria paruh baya, dengan imbalan ternak dan senjata
Editor: hasanah samhudi
TRIBUNNEWS.COM - Kemiskinan, pengangguran, dan krisis ekonomi yang dialami Afghanistan telah menyebabkan sejumlah keluarga menikahkan anak perempuan mereka di bawah umur dengan pria paruh baya dengan imbalan uang, senjata atau ternak.
Ekonomi Afghanistan berada di bawah tekanan besar. Harga makanan dan bahan bakar naik tajam di tengah kekurangan uang tunai, dipicu oleh penghentian bantuan asing dan kekeringan.
“Sejumlah keluarga telah menjual anak perempuan mereka yang berusia satu tahun untuk mendapatkan uang, ternak, dan senjata,” kata kantor berita Afghanistan, Raha, mengutip sumber pada Selasa (12/10/2021).
Laporan itu menambahkan bahwa seorang gadis di bawah umur dihargai antara 100.000 hingga 250.000 Afghani (sekitar Rp 15,5 juta-Rp39 juta) di distrik-distrik terpencil di Provinsi Ghur.
Jika pembeli tidak memiliki uang tunai, sebut laporan itu, ia akan menggantinya dengan memberikan senjata atau ternak kepada keluarga gadis tersebut.
Baca juga: Sekjen PBB Kecam Taliban, Dianggap Tak Tepati Janjinya kepada Wanita dan Anak Perempuan Afghanistan
Baca juga: Pemimpin G20 Berjanji Bantu Afganistan Tanpa Mengakui Taliban
Praktik penjualan anak perempuan di bawah umur sudah biasa di negeri itu.
Namun laporan itu menyebutkan bahwa praktik seperti ini semakin banyak setelah Taliban menguasai Afghanistan pada 15 Agustus.
Berita tentang keluarga yang memperdagangkan anak perempuanya di bawah umur untuk keuntungan materi muncul di saat pemerintah Taliban berusaha mendapatkan pengakuan internasional.
Mayoritas global masih skeptis akan kemampuan Taliban untuk melindungi hak-hak perempuan dan memastikan bahwa Afghanistan tidak menjadi surga bagi teroris.
Sejak menguasai Afghanistan, Taliban melancarkan pencitraan bahwa akan memperbaiki citra garis kerasnya di era 1996-2001.
Baca juga: Wanita Afghanistan Dipaksa Menikah Dadakan di Luar Bandara Kabul Agar Bisa Melarikan Diri
Baca juga: Kisah Pilu Penduduk Lembah Bamiyan di Afghanistan, Warga: Kami Tidak Bisa Makan Malam Ini
Pada periode itu, pemerintahan Taliban sangat konvensional dengan hukum Syariah, termasuk melakukan eksekusi di depan umum, pria yang tidak salat di masjid akan dicambuk, gerakan wanita setiap hari dibatasi dan interpretasi yang ekstrem atas hukum Syariah.
Namun Taliban belum beranjak dari citra lamanya. Alih-alih membentuk pemerintahan yang inklusif, kabinet kelompok hanya terdiri dari anggota kelompok senior.
Kelompok itu juga membubarkan Kementerian Urusan Perempuan dan membawa kembali Kementerian Dakwah dan Pencegahan Kejahatan.
Taliban membubarkan banyak protes perempuan dengan kekerasan dan menunda kembalinya siswa perempuan ke sekolah ketika siswa laki-laki sudah memulai kelas.
Pengungsi Ekonomi
Pada bagian lain, Pemerintahan Taliban Afghanistan telah memperingatkan utusan AS dan Eropa bahwa upaya terus-menerus untuk menekan mereka melalui sanksi akan merusak keamanan dan dapat memicu gelombang pengungsi ekonomi.
Baca juga: Afghanistan Terancam Kembali ke Abad Kegelapan karena Taliban Tak Bayar Listrik
Baca juga: Aturan untuk Pria Afghanistan, Taliban: Dilarang Cukur Jenggot, Tak Sesuai Hukum Syariah
Penjabat menteri luar negeri Amir Khan Muttaqi mengatakan kepada diplomat Barat pada pembicaraan di Doha bahwa “melemahkan pemerintah Afghanistan bukanlah kepentingan siapa pun karena efek negatifnya akan secara langsung mempengaruhi dunia dalam sektor keamanan dan migrasi ekonomi dari negara itu,” sebut pernyataan yang diterbitkan Selasa (12/10/2021) malam.
Taliban menggulingkan mantan pemerintah Afghanistan yang didukung AS pada Agustus setelah konflik selama dua dekade, menyatakan kepemimpinannya di bawah interpretasi garis keras hukum agama.
Tetapi upaya untuk menstabilkan negara, yang masih menghadapi serangan dari saingannya, ISIS, terhambat oleh sanksi internasional: bank kehabisan uang tunai dan pegawai negeri tidak dibayar.
Menurut pernyataan juru bicaranya, Muttaqi mengatakan pada pertemuan Doha: “Kami mendesak negara-negara dunia untuk mengakhiri sanksi yang ada dan membiarkan bank beroperasi secara normal sehingga kelompok amal, organisasi, dan pemerintah dapat membayar gaji kepada staf mereka dengan cadangan mereka sendiri dan keuangan internasional. pendampingan."
Negara-negara Eropa khususnya khawatir bahwa jika ekonomi Afghanistan runtuh, sejumlah besar migran akan berangkat ke benua itu, menumpuk tekanan pada negara-negara tetangga seperti Pakistan dan Iran dan akhirnya di perbatasan Uni Eropa.
Baca juga: Bertemu Dengan Taliban, Amerika Seriikat Setuju Memberi Bantuan untuk Warga Afghanistna
Baca juga: Pertemuan Taliban dengan Delegasi Inggris: Bicara soal Jalur Keluar yang Aman hingga Serangan ISIS
Washington dan Uni Eropa telah mengatakan mereka siap untuk mendukung inisiatif kemanusiaan di Afghanistan, tetapi waspada memberikan dukungan langsung kepada Taliban tanpa jaminan akan menghormati hak asasi manusia, khususnya hak-hak perempuan. (Tribunnews.com/Alarabiya/Hasanah Samhudi)