Buntut Kudeta, Uni Afrika Tangguhkan Keanggotaan Sudan
Uni Afrika menangguhkan Sudan dari semua kegiatannya. Penangguhan diberlakukan sampai pemerintah transisi yang dipimpin sipil dipulihkan.
Penulis: Yurika Nendri Novianingsih
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
TRIBUNNEWS.COM - Uni Afrika (AU) mengatakan pihaknya menangguhkan Sudan dari semua kegiatannya.
Itu diputuskan setelah militer Sudan menggulingkan pemerintah transisi yang dipimpin sipil dalam sebuah kudeta.
Badan pan-Afrika mengatakan penangguhan akan diberlakukan sampai pemerintah transisi yang dipimpin sipil dipulihkan.
Mengutip Al Jazeera, Urusan Politik Perdamaian dan Keamanan Uni Afrika pada hari Rabu (27/10/2021), men-tweet berita penangguhan, sebuah langkah yang biasanya diambil setelah kudeta militer.
Badan pan-Afrika mengatakan penangguhan akan dilakukan sampai pemulihan efektif dari otoritas transisi yang mengarahkan negara menuju pemilihan.
Baca juga: Kerusuhan Kudeta Sudan, Demonstran yang Terluka Sembunyi di Bawah Kasur saat Dicari Militer
Baca juga: Panglima Militer Sudan: Pemerintah Digulingkan untuk Cegah Perang Saudara
Keputusan penangguhan bertepatan dengan Bank Dunia mengikuti Amerika Serikat dalam menangguhkan bantuan ke Sudan menyusul pengambilalihan militer yang dikecam secara luas.
Sementara itu, pekerja dan dokter perusahaan minyak negara mengatakan mereka akan bergabung dengan kampanye pembangkangan sipil yang diserukan oleh koalisi serikat pekerja melawan perebutan kekuasaan.
Cegah Perang Saudara
Panglima militer Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, mengatakan militer merebut kekuasaan untuk mencegah perang saudara, Selasa (26/10/2021).
Pada Senin (25/10/2021), para pengunjuk rasa turun ke jalan untuk berdemonstrasi menentang pengambilalihan pemerintahan.
Masih dikutip dari Al Jazeera, Al-Burhan mengatakan dia telah membubarkan pemerintah untuk menghindari perang saudara.
Dia juga mengatakan tentara tidak punya pilihan selain mengesampingkan politisi yang menghasut untuk melawan angkatan bersenjata.
Pengambilalihan militer tersebut menghentikan transisi Sudan ke demokrasi, dua tahun setelah pemberontakan rakyat menggulingkan pemimpin lama Omar al-Bashir.
"Bahaya yang kita saksikan minggu lalu bisa membawa negara itu ke dalam perang saudara," kata al-Burhan, merujuk pada demonstrasi menentang prospek kudeta.
Sementara itu, Perdana Menteri Abdalla Hamdok, yang ditahan pada hari Senin bersama dengan anggota kabinetnya yang lain, tidak dilukai dan dibawa ke kediaman al-Burhan sendiri.
“Perdana menteri ada di rumahnya. Namun, kami takut dia dalam bahaya sehingga dia ditempatkan bersama saya di rumah saya.”
Sumber militer pada Selasa mengatakan Hamdok dan istrinya telah diizinkan kembali ke rumah mereka di Khartoum.
“Tidak jelas berapa banyak kebebasan yang dia miliki dan apakah dia akan diizinkan untuk berbicara kepada media atau melakukan kontak dengan siapa pun dalam beberapa hari mendatang,” kata Hiba Morgan dari Al Jazeera, melaporkan dari Khartoum.
Al-Burhan telah muncul di TV pada hari Senin untuk mengumumkan pembubaran Dewan Berdaulat, sebuah badan yang dibentuk setelah penggulingan al-Bashir untuk berbagi kekuasaan antara militer dan warga sipil dan memimpin Sudan menuju pemilihan umum yang bebas.
Akun Facebook kantor perdana menteri, tampaknya masih di bawah kendali loyalis Hamdok, menyerukan pembebasannya dan para pemimpin sipil lainnya.
Hamdok tetap menjadi otoritas eksekutif yang diakui oleh rakyat Sudan dan dunia.
Dikatakan tidak ada alternatif selain protes, pemogokan, dan pembangkangan sipil.
Baca juga: Aksi Protes Guncang Sudan Setelah Militer Rebut Kendali Lewat Kudeta
Baca juga: Militer Sudan Kudeta Pemerintahan Transisi
Duta besar Sudan untuk 12 negara, termasuk Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, China, dan Prancis, telah menolak pengambilalihan militer tersebut, kata sumber diplomatik.
Duta besar untuk Belgia dan Uni Eropa, Jenewa dan badan-badan PBB, China, Afrika Selatan, Qatar, Kuwait, Turki, Swedia, serta Kanada juga menandatangani pernyataan tersebut, yang mengatakan para utusan mendukung perlawanan rakyat terhadap kudeta.
Negara-negara Barat mengecam kudeta itu, menyerukan agar menteri-menteri Kabinet yang ditahan dibebaskan.
Mereka juga mengatakan akan menghentikan bantuan jika militer tidak memulihkan pembagian kekuasaan dengan warga sipil.
(Tribunnews.com/Yurika)