Penyerang Masjid Christchurch Pertimbangkan Banding atas Hukuman Penjara Seumur Hidup
Penyerang masjid Christchurch mempertimbangkan pengajuan banding atas hukuman penjara seumur hidup terkait kasus penembakan massal pada 2019.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Penyerang Masjid Christchurch di Selandia Baru mempertimbangkan pengajuan banding atas hukuman penjara seumur hidup terkait kasus penembakan massal pada 2019.
Menurut pengacaranya, pelaku mengatakan pengakuan bersalahnya atas insiden tersebut dibuat di bawah tekanan.
Dilansir Al Jazeera, Brenton Tarrant mengaku bersalah atas 51 tuduhan pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan dan satu aksi terorisme pada Maret tahun lalu.
Dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat.
Brenton Tarrant adalah orang pertama yang dijatuhi hukuman seumur hidup di Selandia Baru.
Baca juga: Perusahaan Indonesia Ini Rutin Ekspor Ratusan Trafo Besar ke Selandia Baru Hingga Australia
Tarrant tidak memberikan pembelaan saat itu, tetapi pengacaranya, Tony Ellis, mengatakan bahwa kliennya kini mempertanyakan keputusannya untuk mengaku bersalah.
Ellis mengatakan, Tarrant mengklaim pengakuannya dilakukan di bawah tekanan karena mengalami "perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat" saat ditahan.
"Dia memutuskan bahwa jalan keluar paling sederhana adalah mengaku bersalah," kata Ellis kepada Radio Selandia Baru.
Tarrant menyerang jamaah di masjid Al Noor Christchurch dan masjid di Linwood pada Maret 2019 di tengah ibadah salat Jumat.
Pria asal Australia itu sempat menyiarkan langsung pembunuhan itu lalu kabur.
Semua korban merupakan jamaah salat, termasuk di antaranya anak-anak, wanita, dan orang tua.
Pengacara Ellis dilaporkan menjadi kuasa hukum Tarrant sebelum penyelidikan atas serangan tersebut dan menyarankan kliennya untuk menggunakan hak bandingnya.
Dia mengatakan Tarrant telah memberinya sekitar 15 halaman deskripsi rinci tentang dugaan penganiayaan.
"Dengan ini, maksudnya dia menjadi sasaran perlakuan yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat saat dalam tahanan, yang mencegah pengadilan yang adil," tulis Ellis pekan lalu dalam sebuah memorandum kepada kepala koroner, menurut Stuff, outlet media Selandia Baru.