Cemas Sebagian Besar Warga Afghanistan Bakal Kelaparan, Pemimpin Taliban Minta Bantuan Dunia
Perdana Menteri Afghanistan menyerukan kebaikan hati dunia internasional untuk tidak menahan bantuan mereka, karena kini warganya terancam kelaparan
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, KABUL - Perdana Menteri Afghanistan yang ditunjuk Taliban, Mullah Mohammed Hassan Akhund, menyerukan kebaikan hati dunia internasional untuk tidak menahan bantuan mereka karena Afghanistan saat ini terancam alami kelaparan massal.
Dilansir Deutsche Welle, Hassan Akhund menyampaikan pesan pertamanya di TV pada Sabtu (27/11/2021), sejak Taliban mengambil alih Afghanistan.
Ia berjanji pihaknya tidak akan menganggu masalah internal negara lain jelang pertemuan PBB mendatang di Doha.
"Kami mencoba sebanyak mungkin untuk mengatasi masalah rakyat. Kami bekerja overtime di tiap departemen," bunyi suara Akhund dalam pesan audio berdurasi setengah jam.
Ia menyalahkan kelaparan, pengangguran, dan krisis keuangan Afghanistan pada pemerintah sebelumnya yang didukung AS.
Baca juga: Wanita Afghanistan yang Jadi Cover Majalah National Geographic 1985 Kini Dievakuasi ke Italia
Baca juga: Soroti Situasi Afghanistan di KTT ASEM Ke-13, Presiden Jokowi: Indonesia Siap Bantu
"Bangsa, waspadalah. Mereka yang tersisa dari pemerintah sebelumnya yang bersembunyi menyebabkan kecemasan, menyesatkan rakyat untuk tidak mempercayai pemerintah mereka," kata Akhund.
Perdana menteri itu mengklaim bahwa pemerintahnya telah menindak korupsi pada "sistem terlemah di dunia."
"Kami meminta semua organisasi amal internasional untuk tidak menahan bantuan mereka dan membantu bangsa kami yang lelah ... sehingga masalah rakyat dapat diselesaikan," katanya.
Ia juga meminta AS untuk membuka sekitar $10 miliar dana Aghan yang dibekukan setelah Taliban mengalahkan pemerintahan sebelumnya pada pertengahan Agustus.
Inflasi adalah masalah yang sangat memprihatinkan, kata Hassan seperti dilansir Bloomberg.
"Jika uang Afghanistan dilepaskan, semua masalah keuangan dan ekonomi akan terpecahkan."
Delegasi Taliban yang dipimpin oleh penjabat menteri luar negeri mereka Amir Khan Muttaqi saat ini sedang mengadakan pembicaraan dengan pejabat AS di Doha, Qatar.
Amir Khan Muttaqi berniat membujuk AS agar mengeluarkan uang dan melanjutkan bantuan kemanusiaan ke negara itu.
Kondisi di Afghanistan
Dalam situs resminya, PBB baru-baru ini mengatakan bahwa lebih dari setengah dari hampir 40 juta orang di Afghanistan menghadapi kelaparan akut.
Satu juta anak-anak bisa meninggal karena musim dingin yang keras.
PBB juga memperingatkan pada pertengahan 2022 sebanyak 97% dari negara itu bisa hidup dalam kemiskinan, naik dari sekitar 72% pada tahun 2020.
Masalah itu merupakan salah satu masalah kelaparan terburuk dalam beberapa dekade.
Runtuhnya ekonomi membuat banyak warga Afghanistan putus asa mencari makanan, dilansir DW.
Banyak warga menjual harta bendanya bahkan anak-anaknya hanya untuk bisa makan.
Akhund menyebut kelaparan itu sebagai "ujian dari Tuhan, setelah orang-orang memberontak melawan."
Saat ini, AS dan negara-negara lain menolak untuk mengakui Taliban sebagai pemerintah Afghanistan yang sah.
Mereka mengakhiri bantuan yang berjumlah sekitar 75% dari ekonomi.
Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional juga mengakhiri pinjaman internasional.
Negara-negara Barat berjanji untuk mempertahankan blokade ekonomi mereka terhadap penguasa baru Afghanistan sampai Taliban menciptakan pemerintahan yang inklusif dan mengakui hak-hak perempuan.
Semua 53 anggota kabinet Akhund adalah laki-laki, dan berasal dari jajaran Taliban.
Kabinet didominasi oleh etnis Pashtun, kelompok mayoritas di negara ini.
Akhund mengklaim Imarah Islamnya yang baru didirikan memiliki anggota dari seluruh negeri.
Pengucilannya terhadap perempuan dari pekerjaan dan anak perempuan dari sekolah dianggap telah menyelamatkan martabat perempuan.
"Hari ini, wanita di Afghanistan aman dan tidak ada yang bisa meremehkan mereka," katanya.
Beberapa sekolah dan universitas swasta memang kembali mengajar kelas perempuan, yang terpisah dari kelas laki-laki.
Namun sebagian besar anak perempuan Afghanistan dari kelas enam dan seterusnya tetap tidak bersekolah.
Perempuan juga belum kembali ke sebagian besar pekerjaan pemerintah.
Hanya sejumlah kecil wanita di layanan penting seperti keperawatan yang diminta untuk melanjutkan pekerjaan.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)