Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tak Hanya di Jakarta, di New York Tikus Gemuk Juga Kerap Berseliweran di Pinggir Jalan

Tak hanya Jakarta, Kota New York di Amerika Serikat (AS) juga mengalami hal serupa.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Tak Hanya di Jakarta, di New York Tikus Gemuk Juga Kerap Berseliweran di Pinggir Jalan
Tikus 

TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK -  Tikus jadi persoalan yang dihadapi kota-kota besar di dunia.

Di Jakarta, tikus kerap berseliweran di pinggir jalan dekat selokan di malam hari.

Terutama di dekat bak sampah dan pemukiman super padat.

Tak hanya Jakarta, Kota New York di Amerika Serikat (AS) juga mengalami hal serupa.

Sebagai kota terbesar di Amerika persoalan tikus mendapat perhatian warganya.

Berikut liputannya dilansir Tribunnews.com dari BBC Indonesia, Sabtu (18/12/2021).

Diem Boyd sedang duduk di luar sebuah restoran di kawasan Greenwich Village, Kota New York pada bulan September lalu, ketika sejumlah tikus berlari melintasi kakinya.

BERITA TERKAIT

"Dalam hitungan detik, semua orang loncat," ujarnya. "Kami jadi hilang selera makan."

Baca juga: 6 Cara Mencegah Ular Masuk Rumah: Pasang Pengharum Ruangan yang Menyengat, Basmi Tikus

Setiap orang di New York memiliki cerita yang sama, jelasnya. "Kami mengalami ledakan [populasi] tikus yang lengkap dan total."

"Anda melihat tikus-tikus ketika Anda keluar pada malam hari," kata Deborah Gonzalez, yang, seperti Diem, tinggal di Lower East Side Manhattan. "Ketika Anda berjalan di blok ini, Anda melihat tikus-tikus berlarian bolak-balik."

Sulit untuk mengukur angka yang tepat, tetapi banyaknya panggilan telepon ke nomor hotline pengaduan Kota New York menyebutkan jumlah hewan pengerat itu telah melonjak tahun ini, naik 15% dari masa pra-pandemi.

"Jelas New York selalu memiliki tikus," kata Marcell Rocha, yang juga tinggal di lingkungan itu, tetapi sekarang "mereka lebih besar dan lebih berani, mereka melompat ke arah Anda. Mereka seperti pesenam, melakukan lompatan salto".

Jadi, apa yang berubah?

Diem, Deborah, dan Marcell menyalahkan wabah baru ini, tepat di depan pintu-pintu rumah makan yang menyebar ke seluruh kota selama pandemi, yang membuat lebih banyak orang memilih untuk makan di meja di teras depan restoran.

Di ratusan jalan di Kota New York sekarang telah berjejer - sering kali di kedua sisi - rumah makan sementara, yang benar-benar mengubah lanskap kota. Untuk memberi Anda gambaran tentang skalanya - ada lebih dari 11.000 tempat makan dengan kursi-kursi di teras depan.

Beberapa tempat baru ini tidak lebih dari bingkai dan kursi yang berserakan, ada juga dengan struktur kokoh dengan lantai, lampu peri, pot bunga, dan pemanas listrik.

Diem, Deborah, dan Marcell mengatakan tempat-tempat itu menyebabkan tumpukan kantong sampah plastik hitam kian bertambah di pinggir jalan, dan ini menyediakan tempat persembunyian yang sempurna untuk tikus di bawah papan lantai.

Namun demikian, tempat-tempat ini telah terbukti sangat populer di kalangan pelanggan selama satu setengah tahun terakhir. Bahkan sudah terlalu populer, untuk penduduk lokal.

"Ini adalah neraka di bumi karena sudah terlalu ramai dan bising," kata Marcell. Lower East Side selalu menjadi lingkungan yang ramai, tetapi musim panas lalu rasanya seperti "tinggal di festival" jelasnya.

Pada awal pandemi, Wali Kota New York Bill de Blasio meluncurkan skema "restoran terbuka".

Rencana ini adalah bagian dari visi yang lebih luas tentang kota yang tidak terlalu didominasi oleh lalu lintas dan lebih terfokus pada penduduk dan pengunjungnya. Tapi, yang terpenting, skema itu tetap memberi hidup bagi industri jasa boga.

Dan sementara izin awal untuk mendirikan area makan di luar ruangan adalah tindakan darurat sementara di tengah pandemi, pada akhir 2020, ketika layanan makan di dalam ruangan dibolehkan kembali, wali kota mengumumkan dia ingin menjadikan makan di luar ruangan yang luas sebagai fitur permanen.

"Restoran Terbuka adalah eksperimen besar dan berani dalam mendukung industri vital dan menata ulang ruang publik kita - dan itu berhasil," kata Bill de Blasio.

"Saat memulai pemulihan jangka panjang, kami bangga untuk memperluas upaya ini demi mempertahankan New York City sebagai kota paling hidup di dunia."

Dewan Kota - sebagai badan yang mengelola urusan New York - sekarang sedang dalam proses debat dan pemungutan suara untuk menghapus peraturan zonasi yang membatasi makan di luar ruangan.

Langkah itu membuat geram Diem, Marcell, dan Deborah. Mereka mengatakan tidak ada penilaian yang tepat tentang dampak yang dialami restoran.

Dan mereka, bersama dengan puluhan warga lainnya, telah mengajukan tindakan hukum untuk mencoba memaksa pemerintah kota untuk melihat lebih dekat pada efek perluasan kebijakan makan dan sosialisasi di luar ruangan secara permanen.

"Dulu rencananya bukan sepeti itu," kata Deborah. Saat masih berskema darurat, menurutnya, para warga mendukung demi membantu usaha jasa yang sedang sulit. Namun, mereka merasa aspirasi mereka kini sudah diabaikan.

Dia mengatakan tikus, keramaian orang, muntahan dan kotoran, memang mengganggu, bahkan dia juga mengkhawatirkan warga lanjut usia yang berjalan-jalan di trotoar yang sibuk.

Mobil pemadam kebakaran harus melambat untuk melewati jalan-jalan yang dipenuhi restoran terbuka, katanya.

Yang lain juga telah menyuarakan keprihatinan yang sama, dan pada bulan Mei lalu Departemen Pemadam Kebakaran Kota New York mencuit bahwa restoran di trotoar telah menunda kedatangan tim mereka di lokasi kebakaran sebuah restoran Cina di pusat Manhattan.

Penduduk dari kawasan Chinatown hingga Queens, Brooklyn hingga Greenwich Village, kini menyerukan peninjauan kembali izin layanan bersantap di luar ruangan.

Ada yang mengatakan hal itu secara mendasar mengubah karakter lingkungan yang sebelumnya tidak didominasi oleh kehidupan malam yang bising, sedangkan di daerah lain hal itu memperburuk masalah yang ada.

Karena cuaca semakin dingin, tempat-tempat makan itu ditutup dengan lembaran plastik, menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan di tempat itu yang sejatinya bertujuan menyediakan ruang makan yang berventilasi baik.

Grafiti mulai bermunculan di bagian luar restoran itu, yang beberapa di antaranya tidak lagi digunakan dan sudah rusak.

"Kondisi ini menyebabkan New York seperti kota kumuh," kata Diem.

Tapi tidak semua orang melihatnya seperti itu.

Jacob Siwak, kepala koki dan pemilik restoran Italia, Forsythia, tepat di seberang jalan dari tempat tinggal Deborah, marah atas segala kritik terhadap skema makan di luar ruangan.

"Bagi saya, gila sekali orang-orang ini berfokus pada hal-hal kecil seperti itu, yang mungkin sedikit negatif, namun sebenarnya ada begitu banyak hal yang positif," katanya.

Siwak yakin restorannya telah menambah nilai di lingkungan sekitar. "Dan itu memungkinkan saya untuk mempekerjakan lebih banyak orang. Saya memiliki banyak staf [yang] saya mampu memberi upah sesuai taraf hidup di kota New York."

Dia pun mengaku ikut aturan soal tata ruang restorannya, yang lebarnya tidak melebihi sebuah yang diparkir.

Maka, kekhawatiran soal mobil layanan darurat yang tidak bisa lewat menurut Siwak adalah klaim yang tidak berdasar.

Memang New York bermasalah dengan tumpukan sampah, lanjutnya, tapi jangan langsung salahkan restoran luar ruangan. "Kami menggunakan piring keramik, serbet linen, peralatan perak. Kami tidak menumpuk sampah," katanya.

Andrew Rigie, direktur eksekutif Aliansi Perhotelan Kota New York, mengatakan jangan langsung menyalahkan tempat makan di luar ruangan dalam mengatasi masalah sampah yang sudah berlangsung lama.

Sampah warga New York sebagian besar ditinggalkan di pinggir jalan dalam kantong plastik hitam untuk dikumpulkan oleh kolektor publik atau swasta - tergantung apakah itu limbah domestik atau komersial - ini adalah sistem yang tidak lagi efektif akibat pandemi dan restoran terbuka.

Rigie setuju bahwa sistemnya perlu diperbaiki, tetapi mengatakan itu tidak boleh menghalangi makan di luar ruangan.

"Kenyataannya sekarang adalah pihak restoran dan masyarakat sama-sama menyukai konsep makan di luar ruangan. Ada permintaan untuk membuatnya permanen."

Tetapi program pemerintah kota saat ini - yang dibuat pada puncak krisis pandemi - tidak dibuat permanen. Sebaliknya, seperangkat standar dan peraturan baru sedang disusun untuk mengatasi banyak kekhawatiran warga, termasuk praktik sanitasi dan kebisingan di malam hari, dan kegiatan apa saja yang diizinkan, ujar Rigie.

"Apakah masyarakat akan mengalami perbedaan pendapat soal jenis kegiatan yang beragam di jalan? Tentu saja. Kota New York adalah tempat yang besar dengan banyak penggunaan ruang publik yang bersaing," katanya.

Pemerintah Kota mengatakan prinsip-prinsip kunci program yang baru akan aksesibilitas, penampilan - termasuk kebersihan, kesetaraan - memungkinkan semua lingkungan untuk mengambil bagian, memastikan tata ruang restoran berada sesuai dalam konteks lingkungan dan keamanan mereka, termasuk akses untuk kendaraan darurat.

Departemen Transportasi, yang akan mengawasi program permanen, dan Departemen Perencanaan meluncurkan konsultasi yang menanyakan kepada warga New York bagaimana menurut mereka tujuan tersebut dapat dicapai dengan baik.

"Keberhasilan luar biasa dari makan malam di luar ruangan menunjukkan bagaimana kita dapat menata kembali pemandangan jalan untuk melayani lingkungan kita dengan lebih baik," kata komisaris departemen transportasi, Hank Gutman.

Dia akan berkonsultasi dengan publik untuk "membuat pedoman" yang akan meningkatkan aksesibilitas, keamanan dan mengatasi masalah seperti kebisingan, jam operasi dan sanitasi.

Tetapi banyak warga masih sangat skeptis. Mereka mengatakan konsultasi itu tidak akan menjangkau banyak masyarakat, terutama yang tidak aktif secara online.

Mereka berpendapat skema tersebut telah diawasi dengan buruk dan khawatir hal yang sama akan berlaku untuk yang permanen.

Bahkan jika kondisi yang lebih ketat disetujui dan ditegakkan, mereka curiga terhadap kekuatan yang bermain di balik skema tersebut.

"Ini bukan lagi tentang pemulihan," kata Diem. "Menggandakan kapasitas restoran dengan mengizinkan mereka menggunakan jalan secara gratis, sama saja menghadiahi tuan tanah berupa lahan rampasan milik publik terbesar dalam sejarah Kota New York."

Mereka dapat menaikkan harga sewa, dan akan lebih menyukai bar dan restoran daripada usaha kecil lain sebagai akibatnya dan, menurut dia, ini semakin merusak karakter banyak lingkungan.

Sumber: BBC Indonesia
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas