Laporan AS: China Secara Tidak Sah Mengklaim Kedaulatan di Laut China Selatan
Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan laporan yang menyebutkan klaim kedaulatan China di Laut China Selatan melanggar hukum internasional
Editor: hasanah samhudi
TRIBUNNEWS.COM – Amerika Serikat mengeluarkan laporan bahwa aktivitas China di Laut China Selatan telah melanggar hukum kelautan dan hukum internasional yang diakui secara universal.
Departemen Luar Negeri AS menyebutkan dalam laporannya pada Rabu (12/1/2022) bahwa dampak keseluruhan dari klaim Beijing adalah mereka secara tidak sah mengklaim kedaulatan atau sejumlah bentuk yurisdiksi eksklusif atas sebagian besar Laut China Selatan.
“Untuk alasan ini, Amerika Serikat dan banyak negara lain menolak klaim ini demi tatanan maritim internasional berbasis aturan di Laut China Selatan dan di seluruh dunia,” sebutnya, dalam laporan berjudul Limts in the Seas.
Selain kurang konten substansil, sebut laporan itu, klaim China tentang hak bersejarah atas laut seluas 3,5 juta km persegi itu tidak tepat karena tidak jelas.
“RRT telah menyatakan bahwa hak historisnya dilindungi oleh hukum internasional, tetapi belum memberikan pembenaran hukum untuk klaim semacam itu,” kata laporan itu merujuk pada China dengan nama resminya, Republik Rakyat Tiongkok (RRC), seperti dilaporkan Al Jazeera.
Baca juga: Konflik LCS: Kapal Perang China Masuki Laut Natuna & Australia akan Bangun 8 Kapal Selam Nuklir
Baca juga: Indonesia Satu-satunya Negara ASEAN yang Berani Menolak Ajakan Berunding China soal LCS
China mengutip apa yang disebutnya sembilan garis putus-putus untuk menegaskan haknya atas seluruh Laut China Selatan.
Pengadilan internasional di Den Haag menyatakan klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang ditandatangani oleh Beijing, setelah Filipina, yang juga mengklaim bagian dari Laut China Selatan, mengajukan tuntutan hukum terhadap China.
Sejauh ini, Amerika Serikat telah melakukan upaya diplomatik dan lainnya untuk menghadapi China sejak Joe Biden menjadi presiden tahun lalu. Mulai dari mempertanyakan laporan penahanan massal Muslim Uighur di Xinjiang hingga pengesahan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong.
Amerika juga telah mengirim beberapa kapal induk dan kapal perang untuk menegaskan hak kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan.
Selain itu, AS juga mengkonsolidasikan aliansinya dengan kekuatan regional lainnya seperti India, Jepang, dan Australia melalui kelompok Indo-Pasifik Quad.
Baca juga: Dampak LCS, Transaksi Perdagangan RI-Jepang Naik 10 Kali Lipat, Ini Kata Apindo
Baca juga: Sempat Tegang Gara-gara LCS, China Janjikan 3 Juta Dosis Vaksin untuk Vietnam
Klaim saingan
Selain China, sebagian Laut China Selatan juga diklaim oleh Taiwan serta negara tetangga seperti Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia.
Dalam beberapa tahun terakhir, China telah meningkatkan kehadiran militernya di wilayah tersebut dengan membangun pulau-pulau buatan dan pangkalan udara, di mana ia telah memasang sistem rudal dan peralatan lainnya.
China juga melakukan aktivitas di kawasan itu, yang mengganggu negara pengeklaim lain. Kegiatan ini membuat perairan regional ini berpotensi menjadi titik konflik dan mengancam akan mengganggu perdagangan internasional.
Laporan Departemen Luar Negeri terbaru juga mempertanyakan klaim kedaulatan China atas lebih dari 100 fitur di Laut China Selatan yang tenggelam di bawah permukaan saat air pasang.
Baca juga: AS Kirim Kapal Induk, China Malah Akan Gelar Latihan Militer di LCS
Baca juga: Jubir Menhan: RI Tak Akan Terlibat Aliansi Militer dengan Pihak yang Berkonflik di LCS
“Klaim semacam itu tidak konsisten dengan hukum internasional, di mana fitur-fitur tersebut tidak tunduk pada klaim kedaulatan yang sah atau mampu menghasilkan zona maritim seperti laut teritorial,” kata laporan itu.
China telah menggunakan klaim kedaulatan atas fitur-fitur tersebut untuk menarik atau menegaskan hak untuk menarik, garis pangkal lurus dan mengklaim perairan teritorial.
AS mengatakan tidak satu pun dari empat 'kelompok pulau' yang diklaim oleh China di Laut China Selatan telah memenuhi kriteria geografis untuk menggunakan garis pangkal lurus di bawah Konvensi.
“Tidak ada badan hukum internasional yang terpisah yang mendukung posisi RRT yang dapat mencakup seluruh kelompok pulau dalam garis pangkal lurus,” kata laporan itu.
Juga disebutkan, China tidak diizinkan oleh hukum internasional untuk menegaskan klaim atas perairan internal, laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen yang didasarkan pada perlakuan terhadap setiap kelompok pulau Laut China Selatan yang diklaim secara keseluruhan.
Baca juga: Ladeni Provokasi China, Kapal Induk Amerika Akan Berpatroli Lagi di LCS
“Di dalam zona maritim yang diklaimnya, RRT juga membuat banyak klaim yurisdiksi yang tidak sesuai dengan hukum internasional,” kata laporan itu.
China belum menanggapi laporan tersebut tetapi telah berulang kali menolak keputusan Den Haag 2016 yang menolak sembilan garis putus-putus, sementara bersikeras pada hak bersejarahnya atas Laut China Selatan.
Di masa lalu, China mengatakan bahwa kehadiran militernya di Laut Cina Selatan adalah sepenuhnya untuk tujuan membela diri, dan bahwa ia tidak memiliki niat untuk mencari hegemoni atau membangun pengaruh di wilayah tersebut. (Tribunnews.com/Aljazeera/Hasanah Samhudi)