Presiden Alexander Lukashenko: Belarus Siap Sebarkan Senjata 'Supernuklir' Melawan Barat
Presiden sekaligus pemimpin terlama Belarus, Alexander Lukashenko menegaskan dirinya tidak akan pernah mundur dari jabatannya jika negara Barat
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, MINSK - Presiden sekaligus pemimpin terlama Belarus, Alexander Lukashenko menegaskan dirinya tidak akan pernah mundur dari jabatannya jika negara Barat tidak mengakhiri upaya untuk menggulingkannya dari jabatan tertinggi negara itu.
Tidak hanya itu, ia pun mengklaim bahwa dirinya siap untuk tidak hanya menyebarkan nuklir, namun juga senjata 'supernuklir' untuk menghalangi musuh-musuhnya.
Berbicara kepada wartawan pada Kamis kemarin, Lukashenko menuduh Barat 'menyerang' dirinya dan mencoba untuk melakukan kudeta di Belarus.
Dikutip dari laman Russia Today, Jumat (18/2/2022), mengenai kemungkinan transfer kekuasaan di negara itu, pemimpin yang telah menjabat sejak 1994 silam itu menekankan ancamannya kepada negara Barat yang mencoba untuk menggulingkan posisinya.
"Jika kolektif Barat akan mengalihkan pandangannya dari Belarus dan tidak mencoba untuk membalikkan keadaan seperti yang terjadi pada 2020, maka semuanya akan terasa halal dan menyeluruh, itu semua akan terjadi lebih awal dari yang mereka inginkan. Tapi jika mereka menyerang kami seperti pada 2020, maka saya akan menjadi presiden abadi," tegas Lukashenko.
Lukashenko juga mengklaim bahwa Belarus siap untuk mengerahkan senjata nuklir serta senjata yang lebih kuat dan tidak terbatas, demi bertahan melawan ancaman negara Barat.
"Dalam keadaan darurat, jika musuh dan lawan kami mengambil langkah bodoh dan tidak masuk akal, kami tidak hanya akan mengerahkan senjata nuklir, namun juga senjata supernuklir prospektif untuk mempertahankan wilayah kami," kata Lukashenko.
Baca juga: Kedutaan AS di Minsk Serukan Warga Amerika Segera Tinggalkan Belarus
Ia juga tidak menutup kemungkinan untuk mengakui kemerdekaan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Lugansk, negara-negara yang 'memproklamirkan' memisahkan diri di wilayah Donbass timur Ukraina, yang telah terlibat konflik dengan pasukan Ukraina sejak 2014 lalu.
Keputusan itu, kata dia, tentunya akan dibuat bersama dengan Rusia.
"Kami akan setuju dengan Presiden Rusia Vladimir Putin bagaimana bertindak demi kepentingan terbaik Rusia dan Belarusia, namun itu akan menjadi keputusan bersama," jelas Lukashenko.
Sebelumnya pada 2020, protes jalanan massal pecah di Belarus setelah pemilihan presiden yang disengketakan, di mana Lukashenko dianugerahi kemenangan dengan meraih lebih dari 80 persen suara.
Tokoh-tokoh oposisi serta banyak pengamat asing mengklaim hasil itu tentu menguntungkannya.
Sementara itu lawan utamanya dalam pemilihan tersebut, Svetlana Tikhanovskaya, terpaksa meninggalkan negara itu atau harus menghadapi penangkapan.
Selama ini, Lukashenko telah dituduh memaksakan tindakan keras aparat penegak hukum terhadap oposisi politik dan media yang anti terhadap dirinya setelah pemilihan itu.
Hal ini menyebabkan banyak tokoh dan aktivis anti-pemerintah yang melarikan diri dari Belarus dan secara efektif kondisi ini membungkam hampir semua media oposisi.