Rusia Berhak Bangun Pangkalan Militer di 2 Wilayah Ukraina
Rusia berhak membangun pangkalan militer Ukraina berdasarkan perjanjian yang ditandatangi Presiden Vladimir Putin dengan para pemimpin separatis.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Rusia telah memperoleh hak untuk membangun pangkalan militer di dua wilayah Ukraina.
Kuasa tersebut diperoleh berdasarkan perjanjian yang ditandatangani Presiden Vladimir Putin dengan para pemimpin separatis.
Diwartakan Reuters, pada Senin (21/2/2022) Putin secara resmi mengakui dua wilayah, Republik Donetsk yang memproklamirkan diri dan Republik Rakyat Lugansk sebagai negara bagian independen.
Dengan demikian, Moskow menentang peringatan Barat bahwa langkah seperti itu akan ilegal dan membunuh negosiasi perdamaian.
Di bawah dua perjanjian persahabatan, Reuters menjelaskan Rusia memiliki hak untuk membangun pangkalan di wilayah separatis dan mereka, di atas kertas, dapat melakukan hal yang sama di Rusia.
Baca juga: Jerman Setop Persetujuan Pipa Gas Nord Stream 2, Buntut Rusia Kerahkan Pasukan ke Ukraina
Baca juga: Mengapa Rusia Akui Kemerdekaan Wilayah Separatis Ukraina?
Para pihak berkomitmen untuk saling membela dan menandatangani perjanjian terpisah tentang kerja sama militer dan pengakuan perbatasan masing-masing.
Masalah perbatasan menjadi penting karena separatis mengklaim bagian dari dua wilayah yang saat ini berada di bawah kendali Ukraina.
Seorang anggota parlemen Rusia dan mantan pemimpin politik Donetsk mengatakan kepada Reuters bulan lalu bahwa para separatis akan meminta bantuan Rusia untuk merebut kendali atas daerah-daerah ini.
Perjanjian 31 poin menerangkan Rusia dan negara bagian yang memisahkan diri akan bekerja untuk mengintegrasikan ekonomi mereka.
Keduanya adalah bekas kawasan industri yang membutuhkan dukungan besar-besaran untuk dibangun kembali setelah delapan tahun berperang dengan pasukan pemerintah Ukraina.
Baca juga: Sebut Invasi Rusia ke Ukraina Telah Dimulai, Inggris Siap Jatuhkan Sanksi
Perjanjian 10 tahun dapat diperpanjang secara otomatis untuk periode lima tahun berikutnya kecuali salah satu pihak memberikan pemberitahuan untuk menarik diri.
Rusia Akui Kemerdekaan Donetsk dan Luhansk
Rusia mengakui daerah separatis Donetsk dan Luhansk sebagai negara yang merdeka.
Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengatakan sudah waktunya bagi Rusia untuk mengakui kedua wilayah yang memisahkan diri itu sebagai wilayah merdeka, dikutip dari NDTV.
Putin mengatakannya dalam pidato yang disiarkan di televisi yang dikelola pemerintah, meskipun ada peringatan dari Barat tentang pernyataan itu dapat menyebabkan sanksi besar-besaran.
"Saya percaya perlu untuk mengambil keputusan yang lama tertunda, untuk segera mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk," kata Putin.
Baca juga: Presiden Vladimir Putin Tempatkan Pasukan Rusia di Wilayah Separatis Ukraina
Putin juga menandatangani perjanjian bantuan timbal balik dengan para pemimpin pemberontak di Kremlin.
Selain itu, Rusia juga meminta negara-negara lain untuk "mengikuti" dalam mengakui republik separatis Ukraina Timur dan memerintahkan tentara Rusia untuk mengirim pasukan ke sana sebagai "penjaga perdamaian."
Donetsk dan Luhansk
Pengakuan kemerdekaan Putin atas daerah Donetsk dan Luhansk merupakan buntut panjang dari konflik Rusia dan Ukraina Timur pada 2014.
Dikutip dari CNN, perang pecah pada tahun 2014 setelah pemberontak yang didukung Rusia merebut gedung-gedung pemerintah di kota-kota di Ukraina timur.
Pertempuran sengit membuat bagian dari wilayah timur Luhansk dan Donetsk oblast di tangan separatis yang didukung Rusia.
Rusia juga mencaplok Krimea dari Ukraina pada tahun 2014 dalam sebuah langkah yang memicu kecaman global.
Baca juga: Hubungan dengan Rusia Memanas, 10 Maskapai Hentikan Penerbangan ke Ukraina
Daerah yang dikuasai separatis di Donbas dikenal sebagai Luhansk dan Republik Rakyat Donetsk.
Pemerintah Ukraina di Kyiv menegaskan kedua wilayah tersebut sebenarnya diduduki Rusia.
Republik yang dideklarasikan sendiri tidak diakui oleh pemerintah mana pun, selain Rusia.
Pemerintah Ukraina menolak untuk berbicara langsung dengan perwakilan republik separatis.
Perjanjian Minsk II tahun 2015 menyebabkan perjanjian gencatan senjata yang goyah.
Konflik tersebut menjadi perang statis di sepanjang Garis Kontak yang memisahkan pemerintah Ukraina dan daerah-daerah yang dikuasai separatis.
Perjanjian Minsk (dinamai berdasarkan ibu kota Belarus tempat perjanjian itu dibuat) melarang senjata berat di dekat Garis Kontak.
Sementara itu, separatis di Donbas itu mendapat dukungan besar dari Moskow.
Rusia telah lama menyatakan tidak memiliki tentara di Donetsk dan Luhansk, tetapi pejabat AS, NATO dan Ukraina mengatakan pemerintah Rusia memasok separatis, memberi mereka dukungan penasihat dan intelijen, dan menempatkan perwiranya sendiri di barisan mereka.
Moskow juga telah mendistribusikan ratusan ribu paspor Rusia kepada orang-orang di Donbas dalam beberapa tahun terakhir.
Para pejabat dan pengamat Barat menuduh Presiden Rusia Vladimir Putin berusaha membangun fakta di lapangan dengan menaturalisasi warga Ukraina sebagai warga negara Rusia, sebuah cara de facto untuk mengakui negara-negara yang memisahkan diri.
Tindakan ini juga memberinya alasan untuk campur tangan di Ukraina.
Berita lain terkait dengan Konflik Rusia vs Ukraina
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)