Ditangkap Ukraina, Tentara Rusia Akui Ribuan Rekan-rekannya Tewas di Medan Perang
Dua tentara Rusia yang ikut berperang melawan Ukraina blak-blakan soal sosok Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, UKRAINA - Dua tentara Rusia yang ikut berperang melawan Ukraina blak-blakan soal sosok Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Tentara itu diketahui ditahan Ukraina namun diduga dia telah membelot
Kedua tentara itu adalah Alexei Zheleznyak dan Igor Rudenko.
Mereka mengatakan Vladimir Putin membohongi rakyat Rusia.
Tentara yang menyerah ke Ukraina itu juga mengungkapkan Rusia telah kalah perang.
Selain itu ia menegaskan bahwa Rusia sudah tak memiliki cukup tentara untuk menduduki Ukraina.
Pernyataan mengejutkan itu muncul dari Alexei Zheleznyak dan Igor Rudenko dalam konferensi pers dengan kantor berita Ukraina, Interfax.
“Putin tanpa menyatakan perang, membombardir tempat berpenduduk, rumah sakit dan kota di Ukraina,” tuturnya seperti dilansir oleh Daily Star.
“Rakyat Rusia, jangan melihat zombie. Warga Ukraina, orang-orang yang berani. Mereka akan menghentikan peralatan Rusia tanpa senjata. Mereka bersatu,” tambahnya.
Ia pun menegaskan berapa kali pun Putin mencoba untuk menduduki wilayah ini dengan mengirim tentara, hal itu tak akan tercapai.
“Komandan kami adalah pembohong dan menipu orang-orang kami. Ia tak hanya menipu kami, tetapi juga seluruh Rusia. Ia membuat kami menjadi fasis,” katanya.
Baca juga: Rusia Minta Ukraina Menyerah di Mariupol, Beri Imbalan Bisa Keluar dengan Aman tapi Ditolak
Sedangkan Rudenko menegaskan keputusannya untuk menyerah terhadap pasukan Ukraina adalah keputusan terbaik.
Ia menegaskan pasukan Rusia sudah kalah dalam peperangan ini dan menegaskan militer Ukraina telah menghancurkan mereka.
Rudenko pun menjelaskan bahwa 15.000 tentara Rusia sudah tewas selama penyerangan ke Ukraina.
Sejak menyerang Ukraina pada 24 Februari 2022 lalu, Rusia belum menunjukkan tanda-tanda menghentikan penyerangan.
Ukraina dikabarkan telah menahan sejumlah tentara Rusia, yang memutuskan menyerah.
Bahkan Ukraina memperbolehkan ibu-ibu Rusia untuk datang dan mengambil anak mereka untuk dibawa pulang.
Minta Bantuan Korea Utara
Sementara itu, Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dilaporkan telah menolak permintaan Presiden Rusia Vladimir Putin terkait bantuan militer di Ukraina.
Mengutip Mirror, dugaan ini muncul seiring invasi Rusia ke Ukraina mengalami stagnasi.
Bahkan Putin yang marah besar tengah mempertimbangkan untuk melakukan 'rencana B'.
Rusia mengklaim telah mengamankan seluruh Oblast Kherson (wilayah) setelah pertama kali merebut kota itu dua minggu lalu.
Namun Ukraina tetap melawan serangan Rusia.
Laporan yang muncul menunjukkan, Rusia telah kehilangan hingga 13.500 tentara dalam konflik, bersama dengan sejumlah aset perangkat keras.
The Express melaporkan, situasi dan posisi tersebut telah memaksa Moskow untuk menjangkau teman-temannya di luar negeri.
Dikabarkan, Rusia diduga meminta bantuan keuangan dan militer China dalam perang yang sedang berlangsung di Ukraina.
Tetapi China telah membantah hal ini.
Rusia yang meminta bantuan Korea Utara seharusnya bukan hal yang mengejutkan, di mana Pyongyang secara historis menjadi sekutu utama Moskow melalui hubungan historisnya dengan era Komunis uni soviet.
Namun, menurut penulis XSoviet-News Sarah Hurst, Kim dengan cepat menolak bantuan Putin.
Dalam postingannya di Twitter dia mengklaim: “Rusia dilaporkan meminta bantuan Korea Utara dengan invasi yang gagal. Korea Utara menjawab, 'Kamu terlalu gila untuk kami'."
Laporan ini belum diverifikasi oleh sumber lain.
Meskipun kurangnya bantuan secara aktif, diktator Korea Utara Kim Jong-un sebelumnya secara terbuka mendukung Presiden Vladimir Putin atas tindakannya di Ukraina.
Dalam pernyataan resmi pertamanya tentang serangan Rusia, Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa Barat bersalah atas "penyalahgunaan kekuasaan".
Duta Besar Korea Utara untuk PBB mengatakan, AS dan sekutunya adalah akar penyebab krisis di Ukraina, setelah mengabaikan tuntutan keamanan Rusia yang "masuk akal dan adil".
Kim Song, diplomat Korea Utara, mengkritik "kebijakan hegemonik" AS dan Barat yang menurutnya mengancam keamanan dan integritas teritorial negara-negara berdaulat.
Berbicara pada pertemuan Majelis Umum PBB, Kim mengatakan: "Bahaya terbesar yang dihadapi dunia sekarang adalah kesewenang-wenangan. Dan kesewenang-wenangan Amerika Serikat dan para pengikutnya telah mengguncang perdamaian dan stabilitas internasional."
Minta bantuan China
Sebelumnya, mengutip The Straits Times, Rusia juga dikabarkan tengah merayu China untuk bisa mendapatkan bantuan militer dan ekonomi. Gempuran sanksi yang diterima tampaknya membuat Rusia mulai kesulitan.
Hal itu diungkapkan oleh seorang pejabat tinggi AS yang berbicara secara anonim ini.
Kepada New York Times, dia belum bisa menjelaskan lebih lanjut jenis peralatan militer yang dibutuhkan Rusia. Ia juga belum bisa memastikan bagaimana respons China atas permintaan tersebut.
Juru bicara kedutaan besar China di Washington, Liu Pengyu, mengaku belum pernah mendengar kabar apa pun tentang permintaan bantuan militer dan ekonomi dari Rusia.
Liu menegaskan bahwa sikap China saat ini adalah mendukung segala upaya yang mengarah pada penyelesaian krisis secara damai.
"China melihat di Ukraina saat ini membingungkan. Kami mendukung dan mendorong semua upaya yang kondusif untuk penyelesaian krisis secara damai," ungkap Liu, seperti dikutip The Straits Times.