AS Ingin Melihat Rusia Melemah, Gelontorkan Bantuan Militer Rp4,8 Triliun untuk Ukraina
AS, lewat Menteri Pertahanannya, Lloyd Austin, mengatakan ingin melihat Rusia melemah.
Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Nuryanti
TRIBUNNEWS.COM - Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS), Lloyd Austin, berharap Rusia kalah dalam perang Ukraina sehingga bisa menghalangi Moskow untuk mengulangi tindakan serupa di tempat lain.
Ia menambahkan, Ukraina masih bisa memenangkan perang jika diberikan dukungan yang tepat.
Austin juga mengumumkan AS akan mengalokasikan tambahan biaya 713 juta dolar Amerika (sekitar Rp10,2 triliun) untuk bantuan militer ke Ukraina dan negara-negara Eropa lainnya.
Dikutip dari BBC, Presiden Rusia Vladimir Putin menuduh Barat berusaha "memecah masyarakat Rusia dan menghancurkan Rusia dari dalam."
Seperti diketahui, Austin bersama Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Kyiv.
Baca juga: Rusia Umumkan Gencatan Senjata di Pabrik Baja Azovstal Mariupol untuk Proses Evakuasi Warga Sipil
Baca juga: AS Kirim Artileri ke Ukraina untuk Hancurkan Senjata Rusia
Pertemuan mereka berlangsung selama lebih dari tiga jam, ketika Rusia meningkatkan kampanye militernya di selatan dan timur Ukraina.
Pada konferensi pers di Polandia setelah kunjungan itu, Austin mengatakan kepada wartawan, AS ingin melihat "Rusia melemah hingga tidak dapat melakukan hal-hal seperti yang telah dilakukannya dalam menginvasi Ukraina."
Kepala Pentagon menambahkan, para pejabat AS masih percaya Ukraina dapat memenangkan konflik dengan "peralatan yang tepat" dan "dukungan yang tepat".
Koresponden diplomatik BBC, James Landdale, menilai komentar Austin tersebut sangat kuat bagi seorang Menteri Pertahanan AS.
Menurutnya, apa yang dilontarkan Austin adalah satu hal untuk membantu Ukraina melawan agresi Rusia.
Tuduhan Putin terhadap Barat yang berusaha "menghancurkan Rusia", yang dibuat dalam pidatonya pada hari Senin, tampaknya merupakan tanggapan atas komentar Austin.
Pejabat pertahanan AS mengatakan dari jutaan yang diumumkan dalam pendanaan militer baru, hampir 332 juta dolar Amerika (sekitar Rp4,8 triliun) akan dialokasikan ke Ukraina.
Angka itu menjadikan total bantuan keamanan AS yang diberikan ke Ukraina sejak invasi dimulai menjadi lebih dari 3,7 miliar juta dolar Amerika (Rp53,4 triliun).
Zelensky telah memohon kepada para pemimpin Barat untuk meningkatkan bantuan peralatan militer selama berminggu-minggu, bersumpah bahwa pasukannya dapat mengatasi militer Rusia jika dilengkapi jet tempur dan kendaraan lain.
Pekan lalu, AS mengonfirmasi telah memasok pasukan Ukraina dengan meriam artileri howitzer dan radar anti-artileri untuk pertama kalinya.
Baca juga: Abaikan Peringatan Rusia, AS akan Buka Kembali Kedubes di Ukraina dan Janjikan Bantuan Militer
Baca juga: Duta Besar Uni Eropa Minta Indonesia untuk Tekan Rusia agar Hentikan Perang di Ukraina
Duta Besar Rusia di Washington mengatakan Moskow telah mengirim nota diplomatik menuntut diakhirinya pasokan senjata AS ke Ukraina.
Blinken mengumumkan beberapa staf diplomatik AS akan mulai kembali ke Ukraina mulai minggu depan.
Mereka diharapkan akan berbasis di Lviv pada awalnya, dengan rencana jangka panjang untuk membuka kembali Kedutaan Besar AS di ibu kota, Kyiv.
Menteri Luar Negeri Rusia Sebut Negaranya Turunkan Risiko Perang Nuklir
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, bersikeras negaranya berusaha untuk menurunkan risiko perang nuklir.
Ia mengatakan hal tersebut adalah bahaya yang nyata dan serius.
“Itu nyata, dan tidak bisa diremehkan,” kata Sergey Lavrov dalam wawancara yang disiarkan di televisi Rusia pada Senin (25/4/2022), mengutip CNN.
Merujuk pada deklarasi bersama oleh Ronald Reagan dan Mikhail Gorbachev, ketika para pemimpin AS dan Uni Soviet saat itu sepakat bahwa "perang nuklir tidak dapat dimenangkan dan tidak boleh dilakukan," Lavrov mengatakan, "perang nuklir tidak dapat diterima" tetap menjadi "prinsip" Rusia.
Lavrov juga menyarankan, ketakutan saat ini dapat disalahkan pada Barat dan penolakan mereka untuk mempercayai Rusia.
Ia menyoroti kegagalan untuk menemukan pengganti perjanjian 1980-an antara AS dan Uni Soviet yang melarang senjata nuklir jarak menengah.
Baca juga: Nenek, Ibu, dan Anak Balita Yuriy Tewas Akibat Serangan Rudal Rusia yang Hantam Apartemen Mereka
Baca juga: Puluhan Warga Bucha Terbunuh oleh Panah Logam Senjata Era Perang Dunia I, Diduga dari Artileri Rusia
Pakta itu gagal pada 2019, tetapi AS telah gagal untuk bertindak atas tawaran Vladimir Putin untuk melanjutkan penangguhan penyebaran senjata semacam itu, kata Lavrov.
“Tawaran moratorium bersama kami ditolak, meskipun kami memasukkan metode verifikasi proposal kami. Dan keberatan utama Barat untuk ini adalah bahwa mereka tidak mempercayai kami, ”katanya.
Menurut kantor berita negara Rusia RIA Novosti, Lavrov mengatakan bahwa negara-negara Barat mendorong Ukraina untuk terus berjuang – diilustrasikan oleh tuntutan Ukraina yang berubah, katanya.
Namun, dia mengatakan dirinya masih percaya perang akan berakhir dengan apa yang RIA Novosti gambarkan sebagai “penandatanganan dokumen diplomatik.”
Rusia Deportasi Warga Mariupol secara Paksa
Pejabat Ukraina mengklaim pada Sabtu, Rusia telah secara paksa mendeportasi warga Mariupol ke Primorsky Krai, di wilayah Timur Jauh Rusia.
"Rusia mengirim warga Ukraina dari Mariupol ke Primorsky Krai secara paksa - 8.000 kilometer dari tanah air," kata Lyudmyla Denisova, Komisaris Parlemen Ukraina untuk Hak Asasi Manusia, dalam sebuah posting Telegram, mengutip CNN.
Menurut Denisova, para sukarelawan memberitahunya bahwa sebuah kereta api tiba di kota Nakhodka pada 21 April dengan 308 warga Ukraina dari Mariupol, termasuk ibu-ibu dengan anak kecil, penyandang disabilitas, dan pelajar.
Ia juga menyertakan foto-foto yang menunjukkan kedatangan warga Ukraina di stasiun kereta api di unggahan Telegram-nya.
Petro Andriushchenko, seorang penasihat wali kota Mariupol, juga mengklaim pada 21 April, "Rusia membawa 308 penduduk Mariupol yang dideportasi ke Vladivostok."
Baca juga: Rusia Disebut Kerahkan Peluncur Rudal Iskander-M di Perbatasan Ukraina
Baca juga: 5 Negara dengan Pengeluaran Militer Terbesar di Dunia Tahun 2021, Ada Rusia hingga India
Pos telegram resmi Wali Kota Mariopul menyebutkan 90 dari 308 warga yang dideportasi adalah anak-anak.
"Orang-orang diakomodasi di sekolah dan asrama. Kemudian direncanakan untuk mengirim mereka ke berbagai pemukiman Primorsky Krai," tulis unggahan Telegram wali kota.
Foto dan video yang dipublikasikan di portal berita lokal Rusia di Vladivostok, vl.com, juga menunjukkan pengungsi dari Mariupol tiba dengan kereta api.
Denisova juga mengklaim penduduk Mariupol dikirim menggunakan bus ke akomodasi sementara di kota Wrangel dan diharapkan menerima dokumen baru yang memungkinkan mereka bekerja di Rusia.
"Negara pendudukan Rusia sangat melanggar ketentuan Pasal 49 Konvensi Jenewa relatif terhadap Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang, yang melarang relokasi paksa atau deportasi orang dari wilayah pendudukan," tambah Denisova dalam posting Telegram-nya.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)