Sri Lanka Bangkrut, 8 Negara Ini Terancam Ikut Bangkrut, Ada Turki-Laos, Bagaimana dengan Indonesia?
Selain Sri Lanka, sejumlah negara di dunia diprediksi akan ikut bangkrut jika tidak mendapatkan pengelolaan ekonomi yang memadai.
Editor: Hasanudin Aco
Belakangan ini, kesepakatan Buenos Aires dengan IMF untuk merestrukturasi 44 miliar dolar AS utang luar negeri dipertanyakan atas konsesi yang dikritik justru menghalangi pemulihan ekonomi.
Mesir
Tingkat inflasi Mesir meroket hingga hampir 15 persen pada April lalu. Hal tersebut mempersulit kondisi ekonomi Mesir yang 103 juta warganya berkubang dalam kemiskinan.
Warga Mesir sendiri telah menderita oleh program-program reformasi yang memuat kebijakan penghematan seperti pemangkasan subsidi bahan bakar, air, dan listrik.
Bank sentral negara itu telah menaikkan suku bunga untuk mengekang inflasi dan mendevaluasi mata uang, meningkatkan kesulitan membayar utang luar negeri Mesir yang sudah tinggi.
Cadangan devisa bersih milik Mesir pun menurun. Untuk membantu kesulitan ekonomi Mesir, negara tetangganya, yakni Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab telah menjanjikan 22 miliar dolar AS dalam bentuk deposit dan investasi langsung.
Laos
Laos merupakan salah satu negara dengan perkembangan ekonomi tercepat sebelum pandemi. Tingkat utang luar negeri Laos meningkat.
Seperti Sri Lanka, Vientiane kini tengah berbicara dengan kreditur tentang bagaimana membayar utang miliaran dolar AS mereka.
Isu pembayaran utang luar negeri Laos terhitung mendesak, mengingat lemahnya keuangan pemerintah. Menurut Bank Dunia, cadangan devisa Laos setara atau kurang dari nilai impor selama dua bulan.
Depresiasi mata uang Laos hingga 30 persen memperburuk keadaan. Juga, harga-harga yang melambung serta tingkat pengangguran karena pandemi memperparah kemiskinan.
Lebanon
Perekonomian Lebanon mirip Sri Lanka dengan kekhawatiran kolapsnya mata uang, meroketnya inflasi, ancaman kelaparan, kurangnya pasokan kebutuhan pokok, serta pertumbuhan kelas menengah yang terus menyusut.
Lebanon juga menderita akibat perang sipil berkepanjangan. Pemulihan pasca-perang pun dihambat disfungsi pemerintahan dan serangan-serangan teror.
Myanmar
Dampak pandemi Covid-19 di Myanmar diperparah dengan kudeta militer terhadap pemerintahan Aung San Suu Kyi pada Februari 2021 silam.
Kudeta pun berbuntut sanksi-sanksi Barat yang menyasar sektor komersial penggerak ekonomi yang dikuasai militer.
Ekonomi Myanmar berkontraksi hingga 18 persen pada tahun lalu, kemudian diproyeksikan hampir tidak bertumbuh sama sekali pada 2022.
Lebih dari 700.000 orang terpaksa mengungsi atau terusir dari rumah oleh konflik bersenjata dan kekerasan politis.
Dikutip dari dw.com, krisis ekonomi menghantam keras kehidupan warga di daerah terpencil. Seperti di negara bagian Kachin, harga beras saat ini lebih mahal hampir 50 persen .
Biaya pengangkutan produk pertanian ke kota-kota juga melonjak karena harga bahan bakar yang naik 30 persen sejak kudeta.
Program Pangan Dunia PBB (WFP) memperkirakan bahwa dalam enam bulan ke depan, sebanyak lebih dari 3,4 juta orang terancam kelaparan di Myanmar.
Lalu Bagaimana dengan Indonesia? Apakah Terancam Bangkrut Juga?
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2022 di kisaran 4,8 persen - 5,3 persen. Hal ini menjadi bukti bahwa Indonesia tidak termasuk negara yang ambruk ekonominya.
Selaku bendahara negara, Sri Mulyani optimis realisasi pertumbuhan ekonomi 2022 kemungkinan akan mendekati level atas yakni sekitar 5 persen. Namun, realisasi tetap menunggu perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS).
"Proyeksi ekonomi kuartal II 2022 dalam hal ini masih di kisaran 4,8 persen dengan upper end di 5,3. Kita mungkin memperkirakan akan mendekati angka 5 daripada lower bound-nya, tapi nanti kita akan lihat angka bulan Juni ini," kata Sri Mulyani dalam konferensi APBN Kita, Kamis (23/6/2022) lalu dikutip dari Kompas.com.
Ekonom Center of Law and Economic Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, untuk saat ini kondisi Indonesia belum memungkinkan terjadi gagal bayar utang seperti Sri Lanka.
"Kalau memprediksi akan terjadi seperti Sri Lanka sepertinya belum, tapi ada beberapa mitigasi beban utang yang harus kita siapkan," ujarnya kepada Kompas.com, Sabtu (16/4/2022).
Lantas, apa yang harus dilakukan agar Indonesia tidak bernasib sama seperti Sri Lanka?
Berkaca dari Sri Lanka yang menggunakan utang untuk pembangunan infrastruktur yang tidak terukur. Padahal seharusnya pembangunan infrastruktur dapat mengurangi biaya logistik.
Menurut dia, Indonesia perlu menghentikan proyek-proyek infrastruktur yang tidak sejalan engan penurunan biaya logistik, kelancaran distribusi barang atau industrialisasi.
Pemerintah Indonesia juga perlu berhati-hati dalam menerima pembiayaan utang. Jangan sampai ketergantungan utang seperti Sri Lanka yang membuat negara tersebut bankrut.
Salah satunya dengan mencari metode pembiayaan lain yang menawarkan bunga lebih rendah.
"Lebih berhati-hati dalam menerima pembiayaan utang khususnya dalam program OBOR atau jalur sutera baru. Seleksi proyek bukan berdasarkan kepentingan kreditor, tapi kebutuhan dalam negeri," ucapnya.
Kemudian, pemerintah harus memfokuskan belanja negara untuk mendorong perlindungan sosial setidaknya 4-5 persen dari PDB. Saat ini anggaran perlindungan sosial hanya 2,8 persen dari PDB.
Pemerintah juga perlu menghemat belanja pegawai dan belanja anggaran agar lebih fokus menstimulus sektor usaha kecil dan menengah serta digitalisasi perizinan.
Selanjutnya, pemerintah perlu mengendalikan inflasi agar tidak bernasib seperti Sri Lanka yang gagal mengatasi naiknya harga barang atau inflasi akibat utangnya.
"Tambah anggaran subsidi energi dari Rp 134 triliun menjadi minimum Rp 200 triliun. Inflasi yang terkendali akan membuat bunga surat utang lebih murah," jelasnya.
Sumber: Associated Press/BBC/The Guardian/Kompas.TV/Kompas.com