Jatuh Bangun Dinasti Rajapaksa di Sri Lanka: Akhiri Perang, Tak Mampu Bayar Utang hingga Kini Runtuh
Sejarah singkat jatuh bangun dinasti Rajapaksa di Sri Lanka, dari mengakhiri perang saudara, tak mampu membayar utang hingga kini terancam runtuh.
Penulis: Rica Agustina
Editor: Miftah
Mahinda Rajapaksa tetap menjabat hingga 2015, ketika dia kalah dari oposisi yang dipimpin oleh mantan ajudannya.
Baca juga: Demonstran Sri Lanka Temukan Uang Jutaan Rupee di Rumah Presiden Gotabaya Rajapaksa
Tetapi keluarga itu bangkit kembali pada 2019, ketika Gotabaya Rajapaksa memenangkan pemilihan presiden.
Saat terpilih, Gotabaya Rajapaksa berjaji untuk memulihkan keamanan setelah bom bunuh diri teroris Minggu Paskah yang menewaskan 290 orang.
Gotabaya Rajapaksa bersumpah untuk mengembalikan nasionalisme yang kuat yang telah membuat keluarganya populer di kalangan mayoritas Buddhis.
Dia juga bersumpah untuk memimpin negara keluar dari kemerosotan ekonomi dengan pesan stabilitas dan pembangunan.
Namun sebaliknya, dia kini membuat serangkaian kesalahan fatal yang mengantarkan krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Krisis Ekonomi
Ketika pariwisata anjlok setelah pemboman dan pinjaman luar negeri untuk proyek pembangunan perlu dilunasi, Gotabaya Rajapaksa tidak mendengarkan penasihat ekonomi dan mendorong pemotongan pajak terbesar di sejarah negara tersebut.
Itu dimaksudkan untuk memacu pengeluaran, tetapi kritikus memperingatkan hal tersebut akan memangkas keuangan pemerintah.
Lockdown pandemi dan larangan yang keliru terhadap pupuk kimia semakin melukai ekonomi yang rapuh.
Negara segera kehabisan uang dan tidak dapat membayar hutangnya yang besar.
Kekurangan makanan, gas untuk memasak, bahan bakar, dan obat-obatan memicu kemarahan publik atas apa yang dianggap banyak orang sebagai salah urus, korupsi, dan nepotisme.
Baca juga: Parlemen Akan Tunjuk Presiden Baru Sri Lanka di Tengah Krisis Ekonomi
Dinasti Runtuh
Perpecahan keluarga dimulai pada bulan April, ketika protes yang berkembang memaksa tiga kerabat Gotabaya Rajapaksa, termasuk menteri keuangan, untuk keluar dari jabatan kabinet mereka dan satu lagi meninggalkan pekerjaan menterinya.