Calon PM Inggris di Mata Beijing, Berlomba Tutupi Masalah Domestik
Dua kandidat PM Inggris, Rishi Sunak dan Liz Truss berlomba mengkampanyekan siapa paling antiCina secara politik di antara mereka.
Penulis: Setya Krisna Sumarga
Pemogokan yang direncanakan oleh lebih dari 40.000 pekerja di Network Rail dan lebih dari selusin perusahaan kereta api akan berlangsung minggu depan, dan akan menjadi pemogokan nasional pertama dari jenisnya sejak 1995.
Para pemimpin serikat pekerja yang marah pada 19 Juli juga mengisyaratkan gelombang pemogokan dalam beberapa bulan mendatang setelah pemerintah mengumumkan kenaikan gaji di bawah inflasi untuk jutaan pekerja sektor public.
Menghadapi kesengsaraan seperti itu, pemimpin baru Inggris seharusnya tidak membuat langkah yang tidak bijaksana untuk merusak hubungan Cina-Inggris.
Menurut outlet media Eropa Euronews pada tahun 2021, Cina mengambil alih Jerman sebagai pasar impor terbesar Inggris.
Menurut Kantor Statistik Nasional Inggris, total perdagangan barang dengan negara-negara Uni Eropa menurun lebih dari 23 persen antara tiga bulan pertama tahun 2018.
Namun, karena atmosfer politik yang beracun, politisi Inggris lebih memilih untuk membuat keputusan yang tidak bijaksana dan mudah untuk merusak hubungan dengan Cina.
Yin Zhiguang, profesor di School of International Relations and Public Affairs di bawah Universitas Fudan, mengatakan kepada Global Times bersikap keras terhadap Cina adalah strategi bagi politisi AS dan Inggris untuk menutupi masalah sistemik lama mereka.
Strategi memperluas hegemoni ini tidak akan diubah oleh transisi kekuasaan di Partai Konservatif, dan tidak akan terguncang hanya karena tekanan ekonomi.
“Masalah ekonomi yang semakin serius, elite seperti Sunak dan Truss lebih tertarik menggunakan 'ancaman eksternal' untuk mengalihkan perhatian domestik dari ketidakmampuan dan kegagalan mereka,” kata Yin.(Tribunnews.com/GlobalTimes/xna)