Rusia Klaim Menangi Referendum di Ukraina, Tiga Wilayah Siap Bergabung
Pemungutan suara dimulai di provinsi Donetsk, Kherson, Luhansk dan Zaporizhzhia pada pekan lalu
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, KHERSON - Para pejabat pro-Kremlin mengatakan tiga wilayah Ukraina yang diduduki Moskow telah memilih bergabung dengan Rusia, menyusul pemungutan suara yang disebut Kyiv dan pihak Barat sebagai "referendum palsu".
Melansir dari Independent UK, pemungutan suara dimulai di Provinsi Donetsk, Kherson, Luhansk dan Zaporizhzhia pada pekan lalu, tidak lama setelah pasukan Rusia mengalami serangkaian kemunduran di Kyiv.
Dalam beberapa pekan terakhir, Ukraina telah merebut kembali ribuan kilometer persegi tanah, terutama di wilayah timur laut Kharkiv.
Pada Selasa (27/9/2022) kemarin, separatis yang didukung Moskow mengatakan 93 persen surat suara di Zaporizhzhia mendukung pencaplokan Rusia. Penghitungan suara di wilayah Kherson selatan dan wilayah Luhansk timur sama-sama berat sebelah, tambah kelompok separatis.
Sementara hasil pemungutan suara di Donetsk diharapkan akan segera diumumkan.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan dirinya meminta [ara pemimpin dunia melalui PBB agar mengisolasi Rusia lebih lanjut dengan menggulirkan sanksi baru.
“Setiap pencaplokan di dunia modern adalah kejahatan, kejahatan terhadap semua negara yang menganggap perbatasan yang tidak dapat diganggu gugat menjadi vital bagi diri mereka sendiri,” katanya.
Baca juga: Rusia Klaim Menang dalam Referendum Ukraina, Zelensky: Tidak Ada yang Perlu Dibicarakan
Zelensky juga menuduh Moskow telah menghancurkan “badan utama hukum internasional”, dengan mengatakan bahwa pembicaraan damai saat ini tidak mungkin dilakukan.
"Pengakuan Rusia terhadap referendum palsu ini sebagai hal yang normal, implementasi dari apa yang disebut skenario Krimea dan upaya lain untuk mencaplok wilayah Ukraina, akan berarti bahwa tidak ada yang perlu dibicarakan dengan presiden Rusia ini."
"Aneksasi adalah jenis langkah yang menempatkan dia sendirian melawan seluruh umat manusia," kata Zelensky.
Baca juga: Hari ke-4 Referendum, Pemungutan Suara Dilakukan Door to Door dan Diawasi Aparat Rusia
Semenanjung Krimea Ukraina dianeksasi oleh Rusia melalui referendum serupa pada tahun 2014 silam.
Menjelang pemungutan suara terakhir, pihak Barat memperingatkan bahwa hasil pemungutan suara tersebut "akan dicurangi".
“Referendum palsu yang diadakan di laras senjata tidak bisa bebas atau adil dan kami tidak akan pernah mengakui hasilnya. Mereka mengikuti pola kekerasan, intimidasi, penyiksaan, dan deportasi paksa yang jelas di wilayah Ukraina yang telah direbut Rusia,” kata Menteri Luar Negeri Inggris James Cleverly, saat mengumumkan sanksi baru Rusia.
Baca juga: Hari Pertama Referendum di Donbas dan Wilayah Dikuasai Separatis Pro-Rusia Berjalan Tanpa Hambatan
Inggris menjatuhkan sanksi baru terhadap lebih dari 90 individu yang terkait dengan referendum itu atau yang dituduh berkontribusi dalam mendanai "mesin perang" Rusia.
Sementara Amerika Serikat dikabarkan sedang menyusun resolusi di Dewan Keamanan PBB untuk mengutuk referendum tersebut.
“Referensi palsu Rusia, jika diterima, akan membuka kotak pandora yang tidak bisa kita tutup,” kata perwakilan AS, Linda Thomas-Greenfield.
Jika Moskow memveto resolusi tersebut, pemungutan suara kemudian dapat diadakan di Majelis Umum PBB, tambah Thomas-Greenfield.
Rusia diperkirakan akan mengumumkan secara resmi hasil referendum tersebut pada akhir pekan ini. Analis percaya, perang Rusia-Ukraina akan memasuki fase baru yang lebih berbahaya, karena Moskow kemungkinan akan mengklaim dan mempertahankan "kedaulatan" di Donetsk, Kherson, Luhansk dan Zaporizhzhia.
Menjelang pengumuman hasil referendum, rezim Putin mengklaim ancamannya untuk menggunakan senjata nuklir harus ditanggapi dengan serius. Sekutu dekat Putin dan wakil kepala Dewan Keamanan Rusia Dmitry Medvedev mengatakan, minggu ini Moskow dapat menggunakan senjata terkuatnya untuk melawan Ukraina, jika "keberadaan" Rusia terancam.
“Saya percaya bahwa NATO akan menghindari campur tangan langsung dalam konflik,” klaimnya.