Balas Kritikan Emanuel Macron, PM Baru Italia Ingatkan Warisan Kolonial Prancis
Giorgia Meloni dinobatkan sebagai perdana menteri wanita pertama Italia dan diyakini akan membentuk sebuah pemerintahan koalisi sayap kanan
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, MILAN – Giorgia Meloni terpilih menjadi perdana menteri baru Italia melalui pemilihan cepat pada 25 September 2022.
Dia dinobatkan sebagai perdana menteri wanita pertama Italia dan diyakini akan membentuk sebuah pemerintahan koalisi sayap kanan dengan Matteo Salvini dan Silvio Berlusconi.
Terpilihnya Meloni sebagai perdana menteri baru Italia menimbulkan berbagai macam tanggapan dari dunia, yang sebagian merasa tidak senang.
Dilansir dari Hourstv.com, Kamis (29/9/2022) kritikus telah menyatakan keprihatinan dan ketakutan atas retorika nasionalis, agama, dan konservatifnya yang keras.
Banyak yang menyebut kemenangan pemilu itu sebagai “kekacauan”, yang bisa jadi “berbahaya” untuk apa yang diperjuangkan Eropa.
Di bawah pemerintahan sebelumnya yang dipimpin oleh Mario Draghi, Italia dan Prancis menikmati persahabatan yang erat. Namun, setelah pengunduran Draghi dan kenaikan Meloni, Prancis khawatir tentang hubungan itu.
Banyak kritikus Prancis menyebutnya "fasis", dan kabarnya Presiden Emmanuel Macron juga telah melontarkan komentar yang menghasut terhadap dia dan partainya, Fratelli d'Italia.
Pesan Melonike Emmanuel Macron
Sebuah video telah menjadi viral di media sosial, di mana Meloni menanggapi salah satu kritik dari Macron.
Berbicara kepada publik, Meloni mengingatkan Macron atas sejarah kontroversial dan warisan kolonial Prancis yang dianggapnya “tidak bertanggung jawab, sinis, dan menjijikkan”.
Baca juga: Tambah Sanksi, Uni Eropa Larang Impor Deodoran hingga Kertas Toilet Rusia
Pertama, Giorgia Meloni berbicara tentang “Ketidakbertanggungjawaban”, di mana dia mengkritik Prancis, yang dipimpin oleh Nicolas Sarkozy pada saat itu, karena bergabung dengan AS dan Inggris dalam invasi Libya tahun 2011.
Dia menuduh Prancis tidak senang dengan kesepakatan minyak antara Italia dan Libya saat Muammar Gaddafi berkuasa.
Perjanjian tersebut memungkinkan Italia untuk mengirim kembali imigran ilegal Libya sembari mendapatkan minyak dengan harga diskon.