Krisis Pangan di Tunisia: Bahan Pokok Langka, Pemerintah Salahkan Perang Ukraina
Tunisia mengalami krisis pangan, bahan pokok langka hingga membuat orang-orang mengantre berjam-jam untuk mendapatkan makanan.
Penulis: Rica Agustina
Editor: Miftah
TRIBUNNEWS.COM - Warga Tunisia telah terdampak lonjakan harga pangan dan kekurangan bahan pokok dalam beberapa pekan terakhir, AP News melaporkan.
Gula, minyak sayur, beras, dan bahkan air minum kemasan secara berkala kosong di supermarket dan toko kelontong.
Orang-orang mengantre berjam-jam untuk kebutuhan pangan yang telah lama disubsidi dan sekarang hanya tersedia dalam bentuk ransum saja.
Adapun ketika bahan makanan muncul di rak, banyak orang tidak mampu membayar harga yang mengejutkan untuk mereka.
Seorang pembeli, Amina Hamdi, 63, mengatakan ada orang-orang berebut bahan makanan meskipun harganya sangat tinggi.
"Saya datang ke toko dan menemukan orang-orang berebut untuk membeli dan harganya sangat tinggi," kata Hamdi.
Baca juga: KBRI Tunis Tampilkan Hadrah Shalawat Nabi di Festival Maulid Nabi Muhammad SAW Tunisia
Seorang pembeli bernama Aicha mengatakan tidak mungkin manusia bisa hidup tanpa makanan.
"Tidak mungkin hidup tanpa makanan," kata Aicha saat berbelanja di pasar ikan dan daging di Tunis baru-baru ini.
"Kami bisa hidup tanpa furnitur, bahan bangunan, tapi kami harus makan."
Pemerintah telah menyalahkan spekulan, penimbun pasar gelap dan perang di Ukraina atas krisis tersebut.
Tetapi para ahli ekonomi mengatakan krisis anggaran pemerintah sendiri, dan ketidakmampuannya untuk menegosiasikan pinjaman yang telah lama dicari dari Dana Moneter Internasional (IMF), telah menambah masalah Tunisia.
Perkelahian terkadang pecah di antrean pasar makanan, dan protes yang tersebar dan bentrokan sporadis dengan polisi atas kenaikan harga dan kekurangan telah terjadi di seluruh negeri.
Di pinggiran ibu kota, Tunis, seorang pedagang buah muda keliling baru-baru ini bunuh diri setelah polisi menyita timbangan yang dia gunakan untuk menimbang barang dagangannya.
Tindakan putus asanya menghidupkan kembali ingatan tentang bakar diri 2010 dari pedagang Tunisia lainnya, Mohamed Bouazizi, yang memicu protes dan menyebabkan penggulingan diktator lama Zine El Abidine Ben Ali, serta memprovokasi pemberontakan serupa di seluruh dunia Arab.
Kementerian Perdagangan berjanji bulan lalu bahwa kekurangan akan berkurang, mengumumkan impor 20.000 ton gula dari India akan tersedia pada waktunya untuk Mouled, hari kelahiran Nabi Muhammad.
Namun malam menjelang hari raya, warga membentuk antrean panjang di depan supermarket dengan harapan mendapatkan sebungkus gula, makanan pokok untuk menyiapkan hidangan tradisional menjelang hari raya keagamaan.
Baca juga: Dubes Zuhairi Misrawi Ungkap Kekhasan Festival Maulid Nabi Muhammad SAW di Tunisia
Lebih lanjut, Tunisia tidak hanya mengalami krisis pangan.
Karena kekurangan sumber daya energi seperti yang ada di negara tetangga Libya dan Aljazair, Tunisia sangat bergantung pada impor.
Masalah ekonomi yang berlangsung lama membuat Tunisia memiliki pengaruh yang terbatas di pasar internasional untuk mengamankan barang yang dibutuhkannya.
Inflasi telah mencapai tingkat rekor 9,1 persen, tertinggi dalam tiga dekade, menurut National Institute of Statistics.
Bank Sentral Tunisia (BCT) menambahkan "pukulan" dengan meningkatkan biaya bank dan suku bunga, menghambat akses ke pinjaman konsumen.
Di Douar Hicher, pinggiran kota miskin di pinggiran Tunis yang dianggap sebagai barometer ketidakpuasan rakyat, ratusan orang turun ke jalan pada malam hari bulan lalu untuk mencela memburuknya kondisi kehidupan mereka.
Dengan teriakan "kerja, kebebasan, martabat", slogan utama revolusi 2010-2011, para demonstran memblokir arteri utama kota dengan membakar ban, menantang polisi yang menyemprotkan gas air mata untuk membubarkan mereka.
"Cukup pidato dan janji, rakyat dicengkeram kelaparan dan kemiskinan," bunyi spanduk yang dipasang para demonstran, kemarahan mereka pada pemerintah dan elit politik terlihat jelas.
Setelah memecat perdana menteri dan membubarkan parlemen, Presiden Kaïs Saied telah memberikan dirinya kekuasaan besar selama setahun terakhir.
Dia mengatakan langkah itu diperlukan untuk menyelamatkan negara di tengah krisis politik dan ekonomi yang berlarut-larut, dan banyak orang Tunisia menyambut mereka, tetapi para kritikus dan sekutu Barat mengatakan perebutan kekuasaan membahayakan demokrasi muda Tunisia.
Baca juga: Zuhairi Misrawi Paparkan Program Jokowi Perihal IKN saat Resepsi Diplomatik HUT RI di Tunisia
Saied mengaitkan kelangkaan produk makanan dan kenaikan harga dengan "spekulan" dan mereka yang memonopoli barang yang mereka simpan di depot ilegal.
Dia menyarankan bahwa saingan politik utamanya, gerakan Islam Ennahdha, memiliki beberapa peran, yang dengan tegas dibantah oleh partai tersebut.
Dalam sebuah pernyataan, Salvation Front, sebuah koalisi dari lima partai oposisi dan beberapa kelompok independen, menyebut demonstrasi tersebut sebagai tanda "ledakan umum dan runtuhnya tatanan sosial dan politik".
Sekretaris jenderal serikat pekerja kuat UGTT, Noureddine Taboubi, menyalahkan anggaran negara yang terlalu terbebani.
Pemerintah saat ini sedang menegosiasikan pinjaman $ 2 miliar (sekitar Rp 30,7 triliun) hingga $ 4 miliar (sekitar Rp 61,4 triliun) dengan IMF untuk mengatasi defisit anggaran yang diperparah oleh pandemi COVID-19 dan dampak dari perang Rusia di Ukraina.
Delegasi tingkat tinggi Tunisia pergi ke Washington pada hari Sabtu dengan harapan menyelesaikan kesepakatan.
Sebagai imbalannya, Tunisia harus berkomitmen pada reformasi yang menyakitkan, termasuk menyusutkan sektor administrasi publik yang menghabiskan sekitar sepertiga dari anggaran negara.
IMF juga menuntut pencabutan bertahap subsidi dan privatisasi perusahaan milik negara, yang menyiratkan PHK besar-besaran dan memburuknya pengangguran, sudah mencapai 18 persen menurut angka terbaru Bank Dunia.
Dihadapkan dengan prospek yang suram seperti itu, rakyat Tunisia semakin tidak ragu lagi mempertaruhkan nyawa mereka untuk mencoba mencapai Eropa dalam mencari kehidupan yang lebih baik.
Forum Tunisia untuk Hak Ekonomi dan Sosial, sebuah LSM yang memantau migrasi dengan cermat, mengatakan 507 migran Tunisia telah meninggal atau hilang sejauh ini pada tahun 2022 ketika mereka mencoba menyeberangi Laut Mediterania yang berbahaya.
Menurut juru bicara Garda Nasional Houssameddine Jebabli, penjaga pantai menggagalkan lebih dari 1.500 upaya migrasi ilegal ke Italia dari Januari hingga September 2022, yang melibatkan seluruh keluarga termasuk hampir 2.500 anak-anak.
(Tribunnews.com/Rica Agustina)