Akibat Perubahan Iklim dan Aktivitas Manusia, Populasi Satwa Liar di Dunia Menurun 69 Persen
WWF melacak satwa liar di dunia, yang tersebar di darat, udara dan air, hampir 32.000 populasi dari 5.230 spesies vertebrata antara tahun 1970 dan 201
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, GLAND - Populasi satwa liar di dunia mengalami penurunan rata-rata sebesar 69 persen antara tahun 1970 dan 2018.
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan World Wide Fund for Nature (WWF) pada Kamis (13/10/2022), menyebut penurunan populasi satwa liar disebabkan perubahan iklim dan aktivitas manusia lainnya.
Melansir dari CNN, WWF melacak satwa liar di dunia, yang tersebar di darat, udara dan air, hampir 32.000 populasi dari 5.230 spesies vertebrata antara tahun 1970 dan 2018.
Pelacakan tersebut menggunakan dataset yang dikenal sebagai Living Planet Index (LPI), yang dikumpulkan WWF bersama Zoological Society of London (ZSL) sejak tahun 1998 dan diperbarui setiap dua tahun.
Baca juga: Tanzania Batalkan Keputusan untuk Cabut Larangan Ekspor Satwa Liar
Laporan WWF, yang ditulis oleh 89 penulis, menyoroti "double emergency" di Bumi terkait iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati, eksploitasi berlebihan terhadap hewan dan tumbuhan, serta perubahan iklim.
Amerika Latin dan Karibia menunjukkan penurunan regional terbesar dalam populasi rata-rata satwa liar sebesar 94 persen. WWF memperingatkan bahwa hutan hujan Amazon bahkan "hampir tidak berfungsi".
Direktur konservasi dan kebijakan ZSL Andrew Terry mengatakan dalam sebuah pernyataan, bahwa indeks “menyoroti bagaimana kita telah memotong fondasi kehidupan (dan) mencegah hilangnya keanekaragaman hayati lebih lanjut, serta memulihkan ekosistem vital harus menjadi prioritas utama. Agenda global untuk mengatasi krisis iklim, lingkungan, dan kesehatan masyarakat yang semakin meningkat”.
Saat ini, sekitar 1 juta tumbuhan dan hewan menghadapi kepunahan, dengan 1 - 2,5 persen mamalia, burung, reptil, ikan dan amfibi telah punah, menurut data WWF.
Lumba-lumba sungai merah muda Amazon di Mamirauá Sustainable Development Reserve, yang terletak di negara bagian Amazonas, Brasil, mengalami penurunan populasi sebesar 65 persen dari tahun 1994 hingga 2016.
Populasi gorila di dataran rendah timur di Taman Nasional Kahuzi-Biega Republik Demokratik Kongo turun 80 persen antara tahun 1994 dan 2019, sementara singa laut Australia kehilangan 64 persen populasinya antara tahun 1977 dan 2019.
Indeks ini didasarkan pada penelitian mengenai hewan liar yang sudah ada sebelumnya. Semua hewan liar yang termasuk ke dalam indeks tersebut adalah vertebrata, meskipun invertebrata atau hewan tak bertulang jumlahnya lebih banyak.
Invertebrata tidak termasuk karena lebih sulit untuk melakukan penelitian pada mereka, kata Direktur Jenderal Internasional WWF Marco Lambertini.
Selama 30 tahun intervensi untuk menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati, LPI terus mengamati penurunan dan bertindak sebagai indikator peringatan dini kesehatan ekosistem, kata WWF.
Laporan tersebut menekankan pentingnya tindakan dari pemerintah, perusahaan dan masyarakat untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Bumi telah menghangat sebesar 12 derajat celcius sejak masa pra-industri, yang merupakan salah satu alasan mengapa spesies air tawar menunjukan penurunan populasi terbesar sebesar 83 persen.
Pada tahun 2021, suhu laut mencapai rekor terpanas untuk tahun ketiga berturut-turut. Hilangnya habitat dan adanya hambatan pada jalur migrasi, misalnya bendungan, telah mengancam populasi ikan.
Baca juga: Upaya Perlindungan Satwa Liar Langka Seperti Orang Utan dan Gajah Sumatera Terus Ditingkatkan
Pertemuan COP15 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Keanekaragaman Hayati dijadwalkan akan berlangsung di Montreal, Kanada, pada bulan Desember.
Lambertini percaya, pertemuan itu akan menjadi kesempatan bagus bagi para pemimpin dunia menetapkan arah dalam memberikan solusi yang dapat menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati.
“Ada pepatah terkenal, 'Anda tidak dapat mengelola apa yang tidak dapat Anda ukur, sehingga diperlukan tujuan yang dapat dikelola. Iklim, misalnya, perlu mencapai emisi nol karbon bersih, tetapi kehilangan nol bersih keanekaragaman hayati tidak cukup baik, karena jumlah kerugian yang terjadi dalam waktu singkat," kata Lambertini.
Dia menambahkan, masyarakat dapat melakukan bagian mereka dengan mengikuti aturan sederhana seperti mengurangi konsumsi bahan bakar fosil dalam upaya menjaga keseimbangan dan kelestarian alam.