Suriah Minta Militer AS Pergi karena Rugikan Rakyat Suriah hingga 19,8 Miliar Dolar
Suriah minta Militer AS mundur dari Suriah. Mereka menilai kehadiran Amerika Serikat rugikan rakyat Suriah hingga 19,8 miliar dolar karena penjarahan.
Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Kementerian Luar Negeri Suriah meminta militer Amerika Serikat (AS) di Suriah agar mundur dari negaranya.
Suriah menganggap kehadiran militer AS di negaranya adalah tindakan paksa dari Barat untuk ikut campur urusan internal Suriah.
Mereka mengatakan tindakan ini sama saja dengan kejahatan perang.
Suriah juga meningkatkan penderitaan rakyat dan memperlambat proses rekonstruksi pascaperang karena kehadiran militer AS.
Militer AS di Suriah dilaporkan telah menjarah sumber daya alam rakyat Suriah, termasuk minyak, gas, gandum, dan mineral lainnya.
Baca juga: Presiden Turki Erdogan Tagih Janji Putin soal Komitmen Rusia Bersihkan Militan Kurdi di Suriah
Pemerintah Suriah menuntut pengembalian jarahan AS ke Suriah.
Kementerian Luar Negeri Suriah telah memberikan data kerugian yang dialami Suriah karena penjarahan ini kepada Dewan Keamanan PBB, Rabu (14/12/2022), seperti diberitakan TASS.
Suriah mencatat penjarahan oleh militer ilegal AS ini telah dilakukan selama beberapa tahun terakhir.
Total kerugian yang diderita Suriah diperkirakan mencapai $19,8 miliar.
Selain itu, pengeboman oleh Angkatan Udara koalisi Barat menyebabkan kerusakan di Suriah, dengan total senilai $2,9 miliar.
"Diamnya lebih lanjut Dewan Keamanan PBB tentang kebijakan agresif Amerika Serikat dan pelanggaran prinsip-prinsip hukum internasional tidak dapat diterima," tegas Kementerian Luar Negeri Suriah.
Baca juga: Dua Pemberontak ISIS Tewas dalam Serangan Helikopter AS di Suriah
PBB abaikan penderitaan warga Suriah
Suriah mengatakan Dewan Keamanan PBB tidak seharusnya mengabaikan hal ini.
“Tidak mungkin untuk mengabaikan penderitaan warga Suriah sebagai akibat dari sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa," bunyi pernyataan Kementerian Luar Negeri Suriah.
Sanksi ini berkaitan dengan perang saudara yang terjadi di Suriah.
"Sanksi ini memiliki konsekuensi bencana bagi kehidupan sehari-hari warga Suriah dan tidak memungkinkan mereka menerima layanan, bahan bakar, kebutuhan rumah tangga yang diperlukan. gas, listrik, terutama di musim dingin," lanjutnya.
Baca juga: Presiden Turki Erdogan Peringatkan Yunani Rudal Balistiknya Dapat Mencapai Athena
Perang saudara di Suriah dan campur tangan AS
Sejak pemberontakan dimulai pada Maret 2011 di Suriah, pemerintah AS dan Dewan Uni Eropa telah secara intensif menerapkan sanksi.
Sanksi itu berupa perampasan sumber daya yang dapat digunakan rezim untuk melakukan kekerasan terhadap warga sipil.
Selain itu, sanksi yang diterapkan AS diharapkan dapat menekan rezim Suriah agar mengambil jalur demokrasi sesuai permintaan rakyat Suriah.
Kemudian sanksi ini meluas ke pejabat Suriah, termasuk Presiden Suriah Bashir al-Assad.
Sementara sanksi dari Dewan Uni Eropa berupa pembatasan impor minyak, pembatasan investasi, dan pembekuan aset hingga 1 Juni 2023, dikutip dari laman Dewan Uni Eropa.
Pada tahun 2014, AS mulai menempatkan pasukannya di Suriah untuk menumpas ISIS, seperti dirangkum oleh Al Jazeera.
AS bekerja sama dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didominasi milisi Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG), untuk membasmi ISIS.
Pada tahun 2017, militer AS menembakkan rudal jelajah ke pangkalan udara Shayrat Suriah dan menewaskan 88 orang di Provinsi Idlib.
Dua tahun kemudian, AS membatalkan penarikan militer karena serangan ISIS telah menewaskan empat tentara AS.
Hingga kini, militer AS masih berada di Suriah.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Artikel lain terkait Konflik Suriah
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.