Turki Keluarkan Surat Penahanan Terhadap Kontraktor Bangunan Pascagempa Turki-Suriah
Pejabat Turki memerintahkan untuk menahan dan mengeluarkan surat penahanan terhadap 131 orang yang terlibat dalam pembangunan gedung.
Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Nanda Lusiana Saputri
Tim penyelamat telah kewalahan oleh kerusakan luas yang berdampak pada jalan dan bandara, membuatnya semakin sulit untuk berpacu dengan waktu.
Erdogan mengakui awal pekan ini bahwa tanggapan awal terhambat oleh kerusakan yang luas.
Baca juga: Pemerintah Indonesia Kirim Tim Medis dan Logistik Tahap Awal untuk Korban Gempa Turki-Suriah
Dia mengatakan daerah yang paling parah terkena dampak berdiameter 500 kilometer dan merupakan rumah bagi 13,5 juta orang di Turki.
Selama tur ke kota-kota yang rusak akibat gempa pada Sabtu, Erdogan mengatakan bencana dengan skala seperti ini jarang terjadi, dan sekali lagi menyebutnya sebagai "bencana abad ini".
Jendela Waktu 72 Jam Pertama jadi Kunci Penyelamatan
Manajer Unit Medis untuk Doctors Without Borders (Medecins Sans Frontieres atau MSF), Dr Evgenia Zelikova mengatakan, 48-72 jam pertama setelah gempa bumi adalah jendela penting untuk menarik korban selamat dari bawah reruntuhan.
"Seiring berjalannya waktu, akan ada lebih sedikit kasus yang selamat," kata Zelikova, dikutip dari Al Jazeera.
Baca juga: Update Gempa Turki dan Suriah: Lebih dari 28.000 Orang Tewas, Penjarahan Meluas di Kota
"Tim kami yang bekerja di barat laut Suriah di rumah sakit mulai melihat semakin sedikit kasus orang yang selamat setelah 72 jam," lanjutnya.
Berada di bawah cuaca dingin dalam jangka waktu yang lama, lanjutnya, adalah faktor terbesar dalam kehilangan darah dan suhu tubuh yang akan berdampak pada kemungkinan bertahan hidup.
Zelikova mengatakan, perhatian utama dari segi kesehatan adalah situasi epidemiologis, cuaca dingin, infrastruktur yang hancur sebagian, penyakit yang terbawa air, akses ke perawatan kesehatan bagi mereka yang menderita penyakit kronis, dan kesehatan mental.
"Penduduk Suriah di barat laut sudah berisiko tinggi (kesehatan mental yang memburuk) karena krisis yang berkepanjangan dan kondisi yang sulit, dan tentu saja peristiwa traumatis seperti itu dapat meningkatkan kerentanan mereka lebih jauh," ungkapnya.
(Tribunnews.com/Whiesa)