Rusia-China Kian Harmonis, NATO Kelabakan Desak Sejumlah Negara untuk Tetap Netral
Rusia dan China kerap melakukan latihan militer serta patroli secara bersama-sama dengan mengirim lebih dari 2.000 tentara, 300 kendaraan militer.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jens Stoltenberg memperingatkan sejumlah negara untuk gigih melawan kekuatan otoriter dengan menegakan "demokrasi dan kebebasan".
Peringatan ini dilontarkan Stoltenberg di sela-sela Konferensi Keamanan Munich, yang dihadiri para pemimpin dunia termasuk Kanselir Jerman Olaf Scholz, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Wakil Presiden AS Kamala Harris, dan diplomat top China Wang Yi.
Hubungan geopolitik antara Rusia dan China yang kian mesra, usai keduanya kerap melakukan latihan militer serta patroli secara bersama-sama dengan mengirim lebih dari 2.000 tentara, 300 kendaraan militer, 21 pesawat tempur dan tiga kapal perang. Dinilai sebagai ancaman baru bagi NATO.
Baca juga: Pasok Banyak Senjata ke Ukraina, Rusia Murka Sebut NATO-AS Kompor Perang
Para anggota NATO khawatir tindakan invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina akan ditiru oleh China, mengingat hubungan negara tirai bambu ini dengan Taiwan kini tengah menegang.
“Ketakutan di antara negara-negara Barat bahwa China dapat meniru tindakan Rusia dengan melakukan sesuatu ke Taiwan, oleh karenanya kita semua harus percaya pada demokrasi dan kebebasan berdiri bersama NATO dengan mitra kita di seluruh dunia," kata Stoltenberg pada Jumat (17/2/2023).
Sebelum Rusia dan China terang – terangan menunjukan keharmonisannya, pemerintah Beijing mengklaim bahwa pihaknya akan netral dan membatasi hubungan dengan Rusia, namun pernyataan tersebut berbanding terbalik.
Stoltenberg mengatakan selama invasi, pemerintah China justru kian meningkatkan hubungan dengan Moskow.
Bahkan beberapa kali China kepergok membantu mendanai perang Rusia dengan cara memborong minyak mentah yang ditawarkan pemerintah Kremlin.
Tak hanya itu menurut laporan pejabat Gedung Putih, Beijing juga aktif menyediakan dukungan militer kepada Moskow serta membantu presiden Putin agar dapat menghindari sejumlah sanksi negara Barat.
“Kami melihat China dan Rusia mengumumkan kemitraan tanpa batas mereka. Dan saya pikir kita telah melihat persekutuan strategis antara Xi Jinping dengan Vladimir Putin berlanjut, sehingga kami juga fokus pada hubungan keduanya dalam konteks perang Rusia terhadap Ukraina,” kata Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk Urusan Eropa dan Eurasia Karen Donfried.
Meski tindakan pemerintah China telah mendapat peringatan keras dari para pejabat AS, namun hal tersebut tak lantas membuat hubungan Rusia dan China merenggang.
Kendati demikian NATO mengancam akan mengambil tindakan agresif apabila Beijing terus memberikan dukungan militer untuk Rusia.