Popularitasnya Anjlok Gara-gara RUU Reformasi Pensiun, Macron Siap untuk 'Tidak Populer'
Macron pun tetap berpegang teguh pada keputusannya untuk meningkatkan usia pensiun di Prancis dari 62 menjadi 64 tahun.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, PARIS - Presiden Prancis Emmanuel Macron mendukung rencana kebijakan reformasi pensiunnya yang kontroversial tersebut dalam pidato publik pertamanya, sejak ia mendorong langkah itu tanpa persetujuan anggota parlemen.
Ia mengklaim bahwa langkah yang telah memperdalam aksi protes menjadi kerusuhan yang kini sedang berlangsung di negara itu, telah ditunda terlalu lama oleh para pendahulunya.
Macron pun tetap berpegang teguh pada keputusannya untuk meningkatkan usia pensiun di Prancis dari 62 menjadi 64 selama wawancara televisi pada Rabu lalu.
Ia menegaskan satu-satunya kesalahan yang ia buat adalah 'gagal meyakinkan orang' tentang manfaatnya.
Baca juga: Aksi Protes Soal Kebijakan Emmanuel Macron Diwarnai Kekerasan dan Penangkapan
"Saat saya mulai bekerja, ada sepuluh juta pensiunan, hari ini ada 17 juta, dan tahun 2030 akan ada 20 juta. Apakah menurutmu kita bisa melanjutkan dengan aturan yang sama?," kata Macron.
Dikutip dari laman Russia Today, Sabtu (25/3/2023), ia mengkritik para pendahulunya, mengatakan bahwa dirinya 'bisa menyapu debu di bawah permadani seperti banyak yang telah dilakukan sebelumnya'.
Namun malah memilih untuk diam untuk perubahan yang telah lama tertunda.
"Apakah menurut anda, saya menikmati melakukan reformasi ini? Tidak. Tapi tidak ada seratus cara yang bisa digunakan untuk menyeimbangkan neraca, reformasi ini bukanlah kemewahan atau kesenangan, ini adalah kebutuhan negara. Jika saya harus memikul ketidakpopuleran hari ini, saya akan memikulnya," tegas Macron.
Macron juga menepis tuduhan lawan politiknya yang menyebut dirinya sebagai pemimpin yang "tidak demokratis' dengan mendorong Undang-undang (UU) yang memecah belah tanpa persetujuan parlemen penuh, menggunakan Pasal 49.3 konstitusi Prancis.
Macron malah menuduh pengunjuk rasa tidak demokratis dan mengecam kerusuhan hebat yang mencengkeram negara.
Namun, ia mengungkapkan rasa hormatnya untuk 'serikat buruh yang mempertahankan sudut pandang mereka'.
"Ketika kelompok, seperti yang mereka lakukan minggu ini, menggunakan kekerasan tanpa aturan apapun karena mereka tidak senang dengan sesuatu, maka itu bukan lagi demokrasi," jelas Macron.
Baca juga: Protes Kebijakan Reformasi Pensiun Emanuel Macron, Sejuta Buruh Prancis Ngamuk di Jalanan
Selain aksi pemogokan massal dan protes yang meluas, UU tersebut juga memicu berbagai mosi tidak percaya terhadap pemerintah di Majelis Nasional, yang didominasi oleh aliansi sentris Macron.
Kabinet berhasil bertahan dari mereka semua, dengan mosi terdekat kurang sembilan suara untuk menggulingkan pemerintah.
Rancangan UU (RUU) Reformasi Pensiun yang kontroversial itu kini sedang menunggu peninjauan oleh Dewan Konstitusi sebelum dapat ditandatangani menjadi UU.
Meskipun badan tersebut dapat menolak pasal-pasal tertentu dalam RUU jika dianggap tidak konstitusional, namun badan tersebut jarang menjalankan kekuasaan ini.
1,2 Juta Buruh Mogok Kerja
Sebelumnya sebanyak 1,2 juta buruh di Prancis dilaporkan turun ke jalanan menggelar aksi mogok kerja memprotes kebijakan reformasi pensiun yang digulirkan Presiden Emmanuel Macron.
Demo tersebut mulai pecah setelah Presiden Macron menaikkan batas usia pensiun dari 62 menjadi 64 tahun.
Tak hanya itu dalam dekrit reformasi pensiun, Macron turut menambah jam kerja bagi para pekerja di negaranya.
Meski kebijakan ini diklaim sebagai cara yang ampuh untuk membantu negara meningkatkan pendapatan kuartalan serta membendung pembengkakan defisit akibat membeludaknya uang belanja bagi pensiunan.
Namun perubahan ini membuat Prancis menjadi negara yang paling lama melakukan purna tugas di antara negara Eropa lainnya.
Baca juga: Lebih dari 1 Juta Orang di Prancis Protes Reformasi Pensiun Emmanuel Macron
Alasan tersebut jutaan warga Prancis pecah hingga nekat menggelar protes di jalanan mulai dari hari Selasa (7/3/2023) waktu setempat.
Meski aksi demo tersebut merupakan yang keenam kalinya yang dilakukan serikat pekerja Prancis, namun mengutip dari the Guardian demo yang digelar pekan ini merupakan yang terbesar lantaran memicu gangguan pada layanan kereta api, memicu sekolah-sekolah diliburkan, dan menghentikan pengiriman bahan bakar.
"Pertarungan sesungguhnya dimulai sekarang," tegas perwakilan serikat pekerja FO, Marin Guillotin, di kilang minyak Donges di Prancis bagian barat.
Perusahaan transportasi SNCF dan RATP mengumumkan bahwa layanan kereta apinya mengalami gangguan dan terpaksa berhenti beroperasi hingga batas waktu yang tak ditentukan setelah para karyawan melakukan mogok kerja untuk memprotes rencana reformasi pensiun itu.
Kondisi serupa juga terjadi pada penerbangan Prancis yang dilaporkan ikut terdampak hingga Otoritas penerbangan sipil Prancis, meminta maskapai untuk mengurangi jadwal penerbangan masing-masing sebesar 20 hingga 30 persen di bandara Charles de Gaulle dan Orly di Paris.
Kilang minyak Total Energies sebagai salah satu produsen pengiriman bahan bakar ke pompa bensin juga terpengaruh, karena 40 persen karyawannya turun ke jalanan mendesak Macron membatalkan reformasi.
Sementara Pemasok energi lainnya, Enedis, mengatakan 4.000 klien di Boulognedi Prancis utara tak mendapat aliran listrik pada Selasa pagi akibat serikat pekerja yang mogok.
Aksi Mogok kerja juga dilaporkan terjadi di banyak sektor industri lainnya, bahkan meluas hingga ke para sopir truk dan petugas pengambil sampah.
Kendati pemerintah setempat belum melaporkan adanya korban jiwa dalam demo ini, namun aksi serupa diperkirakan akan kembali terjadi kembali pada Sabtu (11/3/2023).
Apabila Presiden Emmanuel Macron tak kunjung mengubah sikap kakunya yang dapat menyebabkan situasi di Prancis pecah dan memanas.