Turki Tawarkan Diri Jadi Tuan Tumah Dialog Mediasi Konflik Sudan
Erdogan juga membahas upaya untuk memastikan keselamatan warga Turki di Sudan dan mengevakuasi mereka dari negara itu.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, ANKARA - Turki siap menjadi tuan rumah dialog untuk Sudan jika keputusan diambil oleh pihak yang bertikai dalam memulai negosiasi komprehensif.
Pernyataan ini disampaikan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada Selasa kemarin.
Dalam panggilan telepon dengan Ketua Dewan Kedaulatan Sudan sekaligus Pemimpin Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, Erdogan menyuarakan 'kesedihan dan keprihatinannya' atas meningkatnya jumlah korban dalam konflik bersenjata yang meletus pada pertengahan April lalu.
Sebuah pernyataan dari Direktorat Komunikasi Turki menjelaskan bahwa Erdogan juga membahas upaya untuk memastikan keselamatan warga Turki di Sudan dan mengevakuasi mereka dari negara itu.
Dikutip dari laman Russia Today, Rabu (10/5/2023), Turki pun akan melanjutkan upayanya 'menjalin komunikasi dengan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk memastikan bahwa kebutuhan kemanusiaan mendesak rakyat Sudan terpenuhi'.
Saat pembicaraan gencatan senjata antara rival militer dimulai pada Sabtu lalu di kota pesisir Jeddah Arab Saudi yang didukung oleh Amerika Serikat (AS, seorang diplomat Saudi mengatakan pada Senin lalu bahwa 'tidak ada kemajuan besar' yang dihasilkan dalam dialog itu.
Baca juga: Pertempuran Berlanjut di Sudan Saat Para Mediator Berupaya Akhiri Konflik
Menurut Kementerian Kesehatan Sudan, pertempuran sengit yang pecah akibat perebutan kekuasaan antara Jenderal SAF dan Pasukan Pendukung Cepat (RSF), telah menewaskan sedikitnya 550 orang, dengan sekitar 5.000 terluka sejak 15 April lalu.
Badan Pengungsi PBB menyiapkan 445 juta dolar AS untuk memberikan dukungan segera bagi sekitar 860.000 pengungsi yang melarikan diri dari Sudan ke Chad, Sudan Selatan, Mesir, Ethiopia dan Republik Afrika Tengah.
Erdogan, yang mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga sebagai Presiden Turki dalam pemilihan 14 Mei mendatang, telah berusaha menempatkan negaranya sebagai mediator dalam konflik lainnya, termasuk krisis Rusia dan Ukraina.
Pada Desember 2022, pemimpin Turki itu mengkritik negara Barat karena 'membuat provokasi', alih-alih bertindak sebagai mediator dalam konflik Ukraina.
Ia pun menyoroti upaya Turki tahun lalu dalam menengahi kesepakatan koridor biji-bijian Laut Hitam.