Bangladesh Dilanda Wabah Demam Berdarah, Hampir 1.000 Orang Meninggal
Dalam beberapa pekan terakhir, wabah demam berdarah melanda Bangladesh. Penyakit paling parah di Bangladesh ini menyebabkan 1.000 orang meninggal.
Penulis: Farrah Putri Affifah
Editor: Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Dalam beberapa pekan terakhir, wabah demam berdarah melanda Bangladesh.
Pihak berwenang mengatakan, wabah penyakit paling parah di Bangladesh ini menyebabkan 1.000 orang meninggal.
Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan mengatakan dalam waktu 24 jam, setidaknya 15 orang meninggal karena demam berdarah.
Sehingga total kematian pada tahun 2023 menjadi 943.
“Kami melihat tingginya jumlah kematian tahun ini karena demam berdarah kini telah menyebar di seluruh wilayah negara. Di masa lalu, wabah ini hanya terjadi di wilayah perkotaan,” kata Nazrul Islam, ahli virologi dan mantan wakil rektor Universitas Kedokteran Bangabandhu Sheikh Mujib, kepada EFE.
Menurut data Pemerintah, di antara total kematian, 617 orang meninggal di ibu kota, termasuk 5 orang dalam 24 jam terakhir dan 326 orang minggal di tempat lain di negara ini.
Baca juga: Bangladesh Andalkan Skema Pinjaman Hijau untuk Hadapi Perubahan Iklim
“Meskipun tidak memadai, beberapa tindakan pengendalian masih dilakukan di pusat-pusat perkotaan seperti Dhaka. Tapi di desa-desa, kami tidak melihat adanya upaya apa pun,” kata Islam.
Berdasarkan data terbaru, virus yang ditularkan oleh nyamuk ini telah menewaskan 350 orang pada bulan September.
Ini merupakan jumlah kematian tertinggi dalam satu bulan sejak pencatatan resmi mulai dilakukan pada tahun 2000.
Menurut data DJCK, pada bulan Agustus, sebanyak 342 orang meninggal akibat wabah ini.
Mengutip dari BBC, para dokter mencatat bahwa kondisi pasien demam berdarah saat ini memburuk jauh lebih cepat dibandingkan beberapa tahun terakhir.
Bangladesh telah meluncurkan kampanye kesadaran masyarakat untuk mencegah terbentuknya tempat berkembang biak nyamuk.
Namun pakar kesehatan masyarakat, Dr Mushtaq Hussain mengatakan masih banyak yang perlu dilakukan untuk memunculkan kesadaran masyarakat.
“Mereka yang khawatir menganggap penyakit ini mungkin hanya bersifat sementara, dan akan hilang setelah beberapa hari, sehingga tidak ada tindakan efektif atau jangka panjang yang diambil,” katanya kepada BBC Bengali.