Tak Gubris Ancaman Zionis dan Keberadaan Kapal Induk AS, Hizbullah Terus Serang Israel
Kehadiran dua kapal induk Amerika Serikat di laut Mediterania untuk memastikan perang tidak menjalar ke negara lain.
Penulis: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- Kehadiran dua kapal induk Amerika Serikat di laut Mediterania untuk memastikan perang tidak menjalar ke negara lain.
Namun hal itu tidak digubris oleh Hizbullah. Kelompok bersenjata dari Lebanon terus mengirim serangan ke arah Israel.
Terakhir, Hizbullah meluncurkan sejumlah serangan ke wilayah perbatasan Israel dan menewaskan satu orang serta sejumlah warga Yahudi yang mengalami luka-luka pada Senin (13/11/2023).
Dikutip dari Al Arabiya, serangan pasukan pimpinan Hassan Nasrallah tersebut membalas serangan pasukan zionis sehari sebelumnya.
Baca juga: IDF Bongkar Markas Hamas di RS Rantisi Gaza Ditemukan Peralatan Bantuan dari WHO dan Botol Susu Bayi
Menurut organisasi tanggap pertama yang berafiliasi dengan Gerakan Amal yang bersekutu dengan Hizbullah, tembakan tersebut memakan dua orang meninggal dunia di Lebanon selatan.
Permusuhan di perbatasan Lebanon-Israel terus memanas sejak serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober.
Sejak itu Hizbullah terus meluncurkan roket dan drone ke wilayah musuhnya tersebut. Demikian juga sebaliknya, tentara Benjamin Netanyahu membalas serangan dengan lebih garang.
Perang kata-kata yang memicu kekhawatiran akan meluasnya konflik antara Israel dan kelompok Hizbullah Lebanon yang didukung Iran semakin mendekati kenyataan.
Baku tembak Hizbullah-Israel tersebut menandai kekerasan paling mematikan di perbatasan sejak Israel dan Hizbullah berperang selama sebulan pada tahun 2006.
Sejauh ini, lebih dari 70 pejuang Hizbullah dan 10 warga sipil tewas di Lebanon, dan 10 orang termasuk tujuh tentara tewas di Israel.
Ribuan orang lainnya dari kedua belah pihak melarikan diri dari serangan.
Hingga saat ini, sebagian besar kekerasan hanya terjadi di wilayah di kedua sisi perbatasan.
Baca juga: Populer Internasional: IDF Temukan Senjata Hamas di Bawah Air - Chaos di Departemen Luar Negeri AS
Israel mengatakan mereka tidak menginginkan perang di wilayah utara karena mereka berupaya menghancurkan Hamas di Jalur Gaza, sementara sumber yang mengetahui pemikiran Hizbullah mengatakan serangan mereka dirancang untuk membuat pasukan Israel sibuk dan menghindari perang habis-habisan.
Amerika Serikat menyatakan tidak ingin konflik menyebar di wilayah tersebut, dan mengirimkan dua kapal induk ke wilayah tersebut untuk mencegah Iran terlibat.
Namun hal ini tidak menghentikan meningkatnya retorika dari Hizbullah dan Israel.
Pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah mengatakan pada hari Sabtu bahwa front Lebanon akan “tetap aktif,” dan mengatakan ada “peningkatan kuantitatif” dalam kecepatan operasi kelompok tersebut.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memperingatkan Hizbullah pada hari Senin untuk tidak memperluas serangannya.
“Ini seperti bermain api. Api akan dibalas dengan api yang jauh lebih kuat. Mereka seharusnya tidak mengadili kami, karena kami hanya menunjukkan sedikit kekuatan kami,” katanya dalam sebuah pernyataan.
Lebanon Tak Berdaya
Sementara pemerintahan Lebanon sendiri tak berdaya. Hal itu karena negeeri tersebut sedang jatuh miskin karena perang dengan Israel sebelumnya yaitu pada tahun 2006.
Lebanon butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun kembali negaranya setelah perang tahun 2006 dan tidak mampu membiayai perang berikutnya, empat tahun setelah krisis keuangan yang telah memiskinkan banyak warga Lebanon dan melumpuhkan negara.
Israel telah lama memandang Hizbullah sebagai ancaman terbesar di sepanjang perbatasannya. Perang tahun 2006 menewaskan 1.200 orang di Lebanon, sebagian besar warga sipil, dan 157 warga Israel, sebagian besar tentara.
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin menggambarkan kekerasan tersebut sebagai “pertukaran saling balas antara Hizbullah Lebanon dan pasukan Israel di utara,” memperkirakan Israel akan tetap fokus pada ancaman dari Hizbullah “di masa mendatang.”
“Dan tentunya tidak seorang pun ingin melihat konflik lain terjadi di wilayah utara di perbatasan Israel,” katanya kepada wartawan di Seoul, meskipun ia mengatakan sulit untuk memprediksi apa yang mungkin terjadi.
Mohanad Hage Ali dari Carnegie Middle East Center berkata: “Saya jelas melihat eskalasi yang lebih luas, namun saya tidak yakin akan terjadinya konflik penuh yang tidak diinginkan oleh siapa pun.”
“Tidak ada seorang pun yang menginginkan hal ini di satu sisi, dan saya pikir AS memainkan peran yang kuat dalam mengendalikan keadaan,” katanya.
Samakan Beirut dengan Gaza
Meningkatnya eskalasi pertempuran di perbatasan Lebanon antara IDF dan Hizbullah belangan mengusik Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant.
Beberapa waktu sebelum serangan Hizbullah yang menewaskan tentara IDF tersebut, Gallant mengeluarkan ancaman membombardir Beirut, Ibu Kota Lebanon, sebagai tanggapan atas pidato Hassan Nasrallah.
Gallant memperingatkan Hizbullah bila perang yang dilancarkan akan mengakibatkan kehancuran yang luas di Lebanon seperti halnya di Gaza yang menjadi medan pertempuran Israel dengan Hamas.
“Jika Hizbullah melakukan kesalahan seperti ini di sini, pihak yang akan menanggung dampaknya adalah warga Lebanon yang pertama dan terutama,” kata Gallant kepada tentara di perbatasan utara Israel dalam pernyataan yang disampaikan kantornya, Sabtu (11/11/2023) dilansir dari alarabiya.net.
“Apa yang kami lakukan di Gaza, juga bisa kami lakukan di Beirut,” lanjut dia.
Ketika ditanya pada konferensi pers pada hari Sabtu tentang apa yang dimaksud dengan garis merah Israel, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant berkata: “Jika Anda mendengar bahwa kami telah menyerang Beirut, Anda akan memahami bahwa Nasrallah telah melewati garis itu.”(Alarabiya/Reuters/ewa/*)