Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Rusia Bisa Saja Hancurkan Ukraina Jika Bertindak seperti Israel di Gaza, Tapi Putin Tak Tertarik

Kendati Rusia tidak bertindak agresif, Pemimpin Chechnya Ramzan Kadyrov, memprediksi perang di Ukraina akan berakhir di musim semi tahun 2024.

Editor: Willem Jonata
zoom-in Rusia Bisa Saja Hancurkan Ukraina Jika Bertindak seperti Israel di Gaza, Tapi Putin Tak Tertarik
Telegram/Ramzan Kadyrov @RKadyrov_95
Pemimpin Chechnya Ramzan Kadyrov (kiri) adalah sekutu dekat Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) 

TRIBUNNEWS.COM - Pemimpin Chechnya Ramzan Kadyrov berpendapat bahwa Rusia bisa saja menghancurkan Ukraina dalam waktu tiga bulan, jika negara tersebut bertindak seperti Israel di Gaza.

Namun, menurut dia, Presiden Rusia Vladimir Putin tidak tertarik menghancurkan Ukraina sebagai sebuah negara.

“Presiden (Putin) memerintahkan kami sebisa mungkin untuk menjaga infrastruktur dan kota seutuh mungkin. Kalau tidak, kami akan merebut Kiev. Kami berada tujuh kilometer jauhnya,” kata Kadyrov seperti dikutip RT.

Kendati Rusia tidak bertindak agresif, ia memprediksi perang di Ukraina akan berakhir di musim semi tahun 2024.

Prediksi tersebut diyakininya karena Kiev kehabisan semua sumber daya yang diperlukan dalam perang.

Diketahui tentara Rusia mendekati ibu kota Ukraina selama fase awal konflik.

Baca juga: Putin Bandingkan Perang Rusia-Ukraina dengan Agresi Israel di Jalur Gaza

Namun Kementerian Pertahanan Rusia mengumumkan bahwa mereka menarik pasukan setelah ada terobosan dalam perundingan perdamaian yang dimediasi Turkiye di Istanbul pada Maret 2022.

Berita Rekomendasi

Dua delegasi dari Ukraina dan Rusia menandatangani rancangan gencatan senjata.

Presiden Ukraina Vladimir Zelensky kemudian membatalkan perundingan tersebut, dengan alasan bahwa perundingan tersebut tidak mungkin lagi dilakukan karena dugaan ditemukannya bukti kejahatan perang di kota Bucha, yang telah ditinggalkan oleh pasukan Rusia.

Moskow langsung membantah tuduhan dengan menyebut klaim Kiev sebagai dalih untuk melanjutkan permusuhan.

Perdana Menteri Inggris saat itu, Boris Johnson, mengabaikan perjanjian perdamaian yang baru lahir tersebut dan mengatakan kepada pemerintah Ukraina bahwa negara-negara Barat tidak akan mendukungnya.

Peran Johnson baru-baru ini dikonfirmasi oleh anggota parlemen Ukraina David Arakhamia, yang memimpin delegasi negaranya di Istanbul.

Johnson mengatakan kepada Kiev untuk “berperang saja,” kata anggota parlemen itu dalam sebuah wawancara.

Kiev dan pendukung asingnya berharap bisa meraih keberhasilan di medan perang selama serangan balasan tahun ini, dimana tentara Ukraina diberikan senjata berat buatan Barat, termasuk tank tempur.

Upaya enam bulan tersebut gagal menghasilkan keuntungan teritorial yang besar dan mengakibatkan kerugian besar bagi Ukraina.

Militer Rusia memperkirakan kerugian lawannya mencapai lebih dari 125.000 tentara.

Kemampuan Kiev untuk mendapatkan bantuan berkelanjutan dari Barat saat ini diragukan, karena penolakan terhadap belanja negara semakin meningkat baik di Amerika Serikat maupun di Eropa.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas