Kaleidoskop 2023, From The River to The Red Sea, Bara Hamas ke Israel Bakar Hegemoni AS di Kawasan
petualangan luar negeri Washington penuh dengan konsekuensi yang tidak diinginkan yang memperkuat musuh-musuhnya. Hegomoni AS terancam.
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Kaleidoskop 2023, From The River to The Red Sea, Bara Hamas ke Israel Membakar Hegomoni AS di Laut Merah
TRIBUNNEWS.COM - Hentakan Hamas pada 7 Oktober 2023 seolah membangunkan Israel dari buaian kalau wilayah negara yang mereka duduki berada di atas tungku bara panas yang siap meledak kapan saja.
Ledakan bertajuk Banjir Al Aqsa kali ini tersebut, lebih besar dari percikan-percikan sebelumnya selama beberapa dekade yang menyenyakkan negara pendudukan tersebut.
Sejak momen itu, kabar seputar Hamas, Palestina, Israel, dan yang utama Amerika Serikat dan manuvernya di Timur Tengah, menghiasi pemberitaan di periode 2023.
Baca juga: Cawe-cawe AS di Laut Merah, Kebodohan Lawan Houthi yang Bahayakan Satu Dunia Demi Israel
Hamas, gerakan perlawanan Palestina yang berpusat di Gaza menyatakan, serangan ini murni aksi akumulatif dari respons atas penindasan Israel selama berpuluh-puluh tahun dan ancaman terhadap Masjid Al-Aqsa.
Serangan ini, klaim Hamas, juga aksi 100 persen oleh rakyat Palestina, bukan Iran atau proksi-proksinya di kawasan.
Serangan Hamas tersebut, nyatanya menggaungkan kembali slogan From The River to The Sea.
Slogan ini terpampang di berbagai belahan dunia seiring munculnya gelombang massal aksi penolakan terhadap genosida Israel di Gaza yang berdalih serangan balasan pemberangusan Hamas.
Puluhan ribu warga sipil Palestina di Gaza, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menjadi korban bombardemen tanpa pandang bulu Israel.
Di sisi lain, serangan Hamas 7 Oktober tersebut, menyebabkan kematian 1.200 warga Israel.
Asal-usul Slogan
Setelah didirikan oleh diaspora warga Palestina pada 1964 di bawah kepemimpinan Yasser Arafat, PLO menyerukan pembentukan negara tunggal yang membentang dari Sungai Yordan hingga Laut Mediterania yang mencakup wilayah bersejarahnya.
Perdebatan mengenai pembagian ini sudah ada sebelum terbentuknya negara Israel pada tahun 1948.
Sebuah rencana yang diajukan setahun sebelumnya oleh PBB untuk membagi wilayah tersebut menjadi sebuah negara Yahudi – yang mencakup 62 persen dari mandat Inggris– dan sebuah negara Palestina yang terpisah telah ditetapkan.
"Usulan itu ditolak oleh para pemimpin Arab pada saat itu. Lebih dari 750.000 warga Palestina diusir dari rumah mereka dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba, atau “bencana”," tulis ulasan Al Jazeera.