Presiden Mesir dan Raja Yordania Abdullah II Tolak Gagasan Israel Usir Warga Gaza dan Tepi Barat
Presiden Mesir dan Raja Yordania mengumumkan penolakan penuh terhadap semua upaya untuk menghilangkan masalah Palestina dan mengusir warga Palestina.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Mesir, Abdel Fattah al-Sisi dan Raja Yordania, Abdullah II mengadakan pertemuan di Kairo pada Rabu (27/12/2023) kemarin.
Sekali lagi, keduanya dengan tegas menolak gagasan Israel untuk mengusir paksa warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat yang diduduki.
Dalam pernyataan bersama, Presiden Mesir dan Raja Yordania mengumumkan penolakan penuh terhadap semua upaya untuk menghilangkan masalah Palestina dan secara paksa menggusur warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza.
Dikutip dari The Cradle, pernyataan itu juga mendesak komunitas internasional untuk mendorong gencatan senjata segera di Gaza.
Abdel Fattah dan Abdullah II bersama-sama menyerukan pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza berlangsung tanpa henti agar situasi dan penderitaan yang orang-orang rasakan di Jalur Gaza sedikit berkurang.
"Kedua pemimpin mencatat tanggung jawab politik dan etika komunitas internasional yang sangat besar terhadap penerapan resolusi Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum untuk menjaga integritas entitas internasional ini," bunyi pernyataan tersebut.
Baca juga: Kesaksian Anggota Bulan Sabit Merah Palestina Saat Ditangkap IDF, Akui Diserang di Area Sensitif
Raja Abdullah ke Mesir beberapa hari setelah Kairo mengusulkan rencana gencatan senjata dan reformasi pemerintahan Gaza.
Mesir juga mengusulkan agar tahanan Israel secara bertahap dibebaskan dengan imbalan warga Palestina yang ditahan juga dilepaskan.
Juga, Mesir menyerukan agar pasukan Israel di Gaza ditarik.
Namun, baik Israel maupun Hamas tidak bisa sepakat dengan saran tersebut, dilansir Al Jazeera.
Tel Aviv terus saja memaksa agar warga Palestina pindah dari Gaza.
Bahkan baru-baru ini, ketika Rafah mulai penuh sesak, Israel memerintahkan lebih banyak warga Palestina untuk mengungsi dari Khan Yunis ke selatan.
Kata Analis
Menurut analisa dari William Van Wagenen dari The Cradle, Israel punya tujuan jangka panjang ketika menyerukan pengusiran paksa penduduk Gaza ke Semenanjung Sinai.
Katanya, Israel ingin menduduki Jalur Gaza dan membangun kembali blok pemukiman Yahudi, yang sempat dievakuasi pada tahun 2005 kemarin.
Inisiatif Israel selama puluhan tahun yang dikenal sebagai 'Rencana Transfer' – yang awalnya dirumuskan oleh milisi Zionis yang beroperasi di Palestina, dan kemudian didukung oleh pemerintah Israel pasca tahun 1948 – menyerukan pengusiran massal warga Palestina ke Gurun Sinai.
Baca juga: Kabinet Perang Israel dan Elit Militer Mulai Terpecah, Netanyahu Sampai Batalkan Pertemuan
Setelah pendudukan Israel di Tepi Barat pada tahun 1967, gagasan untuk mendorong warga Palestina menuju Yordania dimasukkan dalam 'Rencana Transfer'.
Israel memaksa banyak warga Palestina untuk bermigrasi ke Yordania selama bertahun-tahun, terutama setelah tahun 1967 dan seiring dengan pesatnya perluasan pemukiman ilegal di Tepi Barat yang diduduki.
'Rencana Transfer' tidak pernah dilaksanakan secara resmi.
Gagasan ini bahkan tercatat sebagai salah satu pelanggaran terhadap Resolusi PBB 194, yang dikeluarkan pada tahun 1948 dan yang melegitimasi hak kembali bagi pengungsi Palestina yang diusir dari rumah mereka.
Baca juga: Jawaban Netanyahu usai Erdogan Tuding PM Israel Mirip Hitler, Sebut Turki Genosida Suku Kurdi
Sejak dimulainya perang, bantuan yang mengalir ke Gaza jauh dari kata cukup untuk mengatasi situasi kemanusiaan yang makin memprihatinkan.
Di tengah meningkatnya kekhawatiran, Amerika Serikat (AS) telah memveto dua resolusi PBB yang mendesak gencatan senjata segera.
Sebuah resolusi disahkan pada tanggal 22 Desember, setelah tertunda selama berhari-hari dan dipermudah secara signifikan atas desakan Washington.
Resolusi tersebut tidak menyebutkan gencatan senjata.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)