Katanya Militer Super-Power, Kenapa AS Cs Tak Mampu Libas Houthi yang Gentayangan di Laut Merah?
Namun pada kenyataannya, sejauh ini AS belum mampu secara steril mengamankan jalur perdagangan Laut Merah.
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Katanya Militer Super-Power, Kenapa AS Cs Tak Mampu Libas Houthi yang Gentayangan di Laut Merah?
TRIBUNNEWS.COM - Di atas kertas, Amerika Serikat (AS) dan sekutunya semestinya tidak punya masalah berarti dalam menghancurkan perlawanan kelompok Ansarallah (Houthi) Yaman di Laut Merah.
Dalam hal kekuatan militer, AS Cs terhitung super-power dalam melibas Houthi yang memblokade jalur maritim di Laut Merah sebagai aksi dukungannya terhadap perlawanan milisi pembebasan Palestina, Hamas melawan agresi militer Israel.
Namun pada kenyataannya, sejauh ini AS belum mampu secara steril mengamankan jalur perdagangan Laut Merah.
Baca juga: Nyaris Sendirian di Laut Merah, AS Tak Bisa Diandalkan Lindungi Perdagangan Maritim Internasional
Rudal-rudal Houthi terus mengganggu rute pengiriman dan rantai pasokan global, yang diklaim hanya menyasar entitas Israel, kapal dari dan menuju pelabuhan negara pendudukan tersebut.
Terbaru, Houthi bahkan memperluas cakupan serangannya ke kapal-kapal perang AS dan Inggris sebagai respons gempuran dua militer negara adidaya tersebut ke wilayah Yaman.
Terbaru, dalam pertempuran selama dua jam, Houthi bahkan menyebut rudalnya sukses menghantam kapal destroyer AS.
Baca juga: Dua Jam Houthi Lepaskan Rentetan Rudal Balistik, Satu Hantam Kapal Perang AS, Kapal Kawalan Mundur
"Amerika menyadari bahwa hanya ada sedikit pilihan yang apik untuk menghentikan Houthi. Serangan berulang kali yang dilakukan pasukan AS dan Inggris – termasuk menenggelamkan beberapa kapal Houthi – tampaknya tidak menghalangi gerakan Houthi, kelompok pemberontak Syiah di Yaman, salah satu negara termiskin di dunia yang dilanda perang," tulis ulasan Insider soal kesulitan AS menghentikan aksi Houthi, dikutip Kamis (25/1/2024).
Baca juga: Laut Merah Makin Menyala, Milisi Irak Gabung Houthi Yaman: Adang Hingga Pelabuhan Israel Mati Total
Tiga Keunggulan Houthi
Ulasan itu menelaah sejumlah hal yang membuat Houthi bisa menghadapi kekuatan besar militer AS.
"Houthi bukanlah kekuatan militer yang besar, namun mereka tidak perlu menjadi besar (untuk bikin susah AS). Mereka menikmati tiga keuntungan yang memperbesar kemampuan mereka untuk menciptakan kekacauan dan menyulitkan Barat untuk menghentikannya," tulis ulasan tersebut.
Baca juga: Ansarallah Houthi Yaman Singgung Aksi Berani Malaysia, Desak Semua Negara OKI Tolak Kapal Israel
Pertama, faktor geografis.
Jalan pintas terbaik bagi kapal yang melakukan perjalanan antara Eropa atau pantai timur Amerika menuju India dan Asia Timur adalah Terusan Suez di Mesir, yang menghubungkan Laut Mediterania dan Samudera Hindia.
Itu sebabnya banyak negara berjuang mati-matian untuk menguasai jalur air ini pada Perang Dunia Pertama dan Kedua.
Diperkirakan sebanyak 15 persen perdagangan dunia dan 20 persen hingga 30 persen kargo yang tiba di pelabuhan pantai timur AS melewati Terusan Suez sepanjang 120 mil.
Kanal ini selalu rentan gangguan, terbukti ketika kapal kontainer raksasa Ever Give kandas pada tahun 2021, sehingga mengganggu perdagangan global selama berminggu-minggu.
Namun masalahnya saat ini bukanlah Terusan Suez itu sendiri, melainkan ancaman yang dihadapi kapal-kapal yang melintasi Laut Merah dan selat Bab Al-Mandab (“gerbang air mata” dalam bahasa Arab), yang dibatasi oleh Eritrea dan Djibouti di sebelah barat dan Yaman di timur.
Selat Bab al-Mandab (sejumlah literatur menulis Bab el-Mandeb) hanya memiliki panjang 70 mil dan lebar 20 mil, sehingga berada dalam jangkauan rudal anti-kapal darat, drone, dan bahkan howitzer yang menembakkan peluru jarak jauh.
Tidak seperti kebanyakan jalur maritim, tidak ada jalan pintas jika selat tersebut diblokir.
Baca juga: Intelijen AS: Aksi Ansarallah Yaman di Laut Merah Tidak Disetir Iran, Houthi Bisa Buat Rudal Sendiri
Faktor kedua adalah teknologi.
Senjata anti-kapal modern sangat kuat namun cukup sederhana sehingga bahkan kelompok militan pun dapat mengoperasikannya (Hizbullah menggunakan rudal jelajah C-802 buatan Tiongkok untuk merusak kapal perang Israel pada tahun 2006).
Drone itu murah, dan bahkan drone kecil pun dapat menyebabkan kerusakan kecil pada kapal besar.
Kelompok Houthi memiliki beragam rudal pengahncur kapal, sebagian besar berasal dari Iran tetapi dengan model Soviet dan Tiongkok yang lebih tua, menurut International Institute for Strategic Studies.
Rudal jelajah anti-kapal termasuk P-21 Termit era Soviet dan C-801 Tiongkok (dengan jangkauan hingga 80 mil), serta Ghadir Iran (185 mil) dan Quds Z-0 (dilaporkan memiliki jangkauan hingga 500 mil). ).
Houthi juga memiliki rudal balistik anti-kapal buatan Iran dengan jangkauan sekitar 300 mil, serta drone.
Rudal-rudal ini ditembakkan dari peluncur bergerak yang dapat berpindah lokasi dengan cepat.
Mereka dapat menembakkan roket dan kemudian berlari menjauh sebelum Angkatan Laut AS dapat menentukan lokasi peluncuran dan menyerangnya dengan rudal jelajah Tomahawk.
Kelompok Houthi sudah familiar dengan taktik ini dari perang mereka selama 9 tahun dengan koalisi pimpinan Arab Saudi yang terus mengebom mereka tanpa henti.
"Geografi menambah ancaman teknologi. Pertahanan terbaik sebuah kapal bukanlah senjata atau pengacau, melainkan ruang terbuka. Bahkan kapal induk raksasa pun sulit dikenali di lautan luas, dan radar rudal anti-kapal hanya dapat memindai area kecil," tulis ulasan insider betapa faktor serangan Houthi dapat secara mudah menjangkau sasaran di Selat Bab Al Mandab.
Itu sebabnya AS dan negara-negara lain menginvestasikan begitu banyak upaya pada satelit, pesawat patroli, dan sensor untuk menyediakan data pelacakan real-time untuk memandu rudal mendekati kapal yang bergerak.
Namun lebar Selat Bab Al-Mandab hanya 20 mil, yang berarti kapal dapat dilacak oleh radar darat, perahu kecil, drone kecil, atau bahkan pengamat puncak bukit dengan teropong yang bagus.
Faktor ketiga adalah masalah politik.
Kelompok Houthi mengklaim, mereka menyerang kapal-kapal Israel karena solidaritas terhadap perjuangan milisi pembebasan Palestina di Gaza.
Media barat mengklaim, banyak dari kapal-kapal target Houthi tersebut tidak ada hubungannya dengan Israel.
"Alasan sebenarnya tampaknya adalah upaya Iran untuk menggunakan proksi untuk menjadi kekuatan dominan di Teluk Persia dan Timur Tengah. Meskipun Houthi bukan boneka Iran, mereka mempunyai sponsor yang kuat di negara tetangga Iran dan pemerintahan garis keras Syiah, dan konfrontasi mereka dengan Israel adalah sikap yang populer di kalangan penduduk mereka dan di negara-negara Arab pada umumnya."
"Teheran tidak hanya membantu Houthi dengan senjata dan uang: Laporan mengatakan kapal-kapal Iran memberikan informasi kepada Houthi mengenai pergerakan kapal di Laut Merah," tulis ulasan Insider.
Ulasan tersebut juga menganalogikan posisi Houthi saat ini dengan kelompok Vietkong pada perang Vietnam.
"Sama seperti bantuan Soviet dan Tiongkok yang menopang Vietnam Utara, dukungan Iran juga dapat menopang kelompok Houthi tanpa batas waktu. Sanksi terhadap kelompok Houthi, seperti langkah AS untuk menetapkan kembali mereka sebagai organisasi teror, sepertinya tidak akan efektif terhadap kelompok yang terobsesi dengan kematian dan tampaknya tidak terlalu khawatir bahwa rakyatnya sendiri sedang kelaparan," tulis laporan tersebut.
Ulasan ini juga menekankan, ketiga faktor di atas tidak berarti Houthi tidak terkalahkan.
Serangan rutin terhadap fasilitas militer Houthi bisa menjadi satu di antara opsi, meski berarti memperbesar peluang melebarnya perang di kawasan.
"Mungkin cukup banyak serangan Barat terhadap platform militer dan pengawasan mereka – dan bahkan terhadap para pemimpin mereka – yang dapat membawa perubahan (AS telah melakukan banyak serangan pesawat tak berawak terhadap Al Qaeda di Yaman)," tulis ulasan tersebut.
Faktor lain yang bisa menahan laju manuver Houthi adalah tekanan warga Yaman sendiri
"Kesepakatan perdamaian yang sedang berlangsung untuk mengakhiri perang saudara di Yaman, yang menurut perkiraan PBB telah menyebabkan 227.000 kematian, mungkin dapat mempengaruhi perilaku masyarakat. Atau, mungkin Houthi akan memutuskan untuk fokus pada kebutuhan negara yang sangat miskin sehingga separuh penduduknya bisa bertahan hidup dengan penghasilan setara dengan $2 per hari," tutup ulasan tersebut.
(oln/BI/*)