4 Tugas Presiden Palestina ke Mohammad Mustafa yang Ditunjuk Jadi PM Palestina
Mahmoud Abbas menunjuk Mohammad Mustafa sebagai PM Palestina menggantikan Mohammad Shtayyeh.
Penulis: Nuryanti
Editor: Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Palestina Mahmoud Abbas menunjuk Mohammad Mustafa sebagai Perdana Menteri (PM) Palestina yang baru.
Penasihat ekonomi itu menggantikan PM Palestina sebelumnya, Mohammad Shtayyeh, yang mengundurkan diri bersama pemerintahannya pada bulan lalu.
Pengunduran diri Mohammad Shtayyeh disebut karena diperlukan pengaturan yang berbeda karena 'realitas baru di Jalur Gaza'.
Mohammad Mustafa ditunjuk menjadi PM Palestina dalam menghadapi tekanan Amerika Serikat (AS) untuk mereformasi Otoritas Palestina sebagai bagian dari visi Washington pascaperang untuk Gaza.
“Perubahan yang diinginkan Amerika Serikat dan negara-negara di kawasan ini belum tentu merupakan perubahan yang diinginkan warga Palestina,” ujar Hani al-Masri, seorang analis politik Palestina, Jumat (15/3/2024), dilansir AP News.
“Masyarakat menginginkan perubahan nyata dalam politik, bukan perubahan nama. Mereka menginginkan pemilu," jelasnya.
Tugas untuk PM Palestina yang Baru
Mahmoud Abbas meminta Mohammad Mustafa menyusun rencana untuk menyatukan kembali pemerintahan di Tepi Barat dan Gaza.
Mustafa juga diminta memimpin reformasi di pemerintahan, layanan keamanan dan ekonomi, serta memerangi korupsi.
"Mustafa adalah orang yang dihormati dan terpelajar, tetapi akan berjuang untuk memenuhi tuntutan publik untuk memperbaiki kondisi di Tepi Barat yang diduduki, di mana pembatasan yang diberlakukan Israel sejak awal perang telah menyebabkan krisis ekonomi," kata Abbas.
Respons AS
Amerika Serikat (AS) menyambut baik penunjukan PM Palestina yang baru.
Namun, Washington mendesak agar Mustafa segera membentuk kabinet untuk melaksanakan perubahan.
Baca juga: Sosok Mohammad Mustafa, Perdana Menteri Palestina Baru yang Pernah jadi Kepala Rekonstruksi Gaza
“Amerika Serikat akan mencari pemerintahan baru ini untuk mewujudkan kebijakan dan implementasi reformasi yang kredibel dan berjangkauan luas."
"Reformasi Otoritas Palestina sangat penting untuk memberikan hasil bagi rakyat Palestina dan membangun kondisi stabilitas di Tepi Barat dan Gaza,” ungkap juru bicara Dewan Keamanan Nasional Adrienne Watson, Jumat, dikutip dari ABC News.
Amerika Serikat telah menyerukan reformasi PA untuk memperluas wilayahnya ke Gaza pascaperang menjelang pembentukan negara Palestina di kedua wilayah tersebut.
PM Israel Benjamin Netanyahu telah mengesampingkan peran PA di Gaza, dan pemerintahannya menentang pembentukan negara Palestina.
Sebagai informasi, Mohammad Mustafa lahir di kota Tulkarem di Tepi Barat pada 1954.
Mustafa memperoleh gelar doktor di bidang administrasi bisnis dan ekonomi dari Universitas George Washington.
Dia pernah memegang posisi senior di Bank Dunia dan sebelumnya menjabat sebagai wakil perdana menteri dan menteri perekonomian.
Mustafa saat ini menjabat sebagai ketua Dana Investasi Palestina.
Adapun Otoritas Palestina didirikan pada tahun 1990-an melalui perjanjian perdamaian sementara dan diharapkan dapat menjadi batu loncatan menuju pembentukan negara.
Namun, perundingan perdamaian berulang kali gagal, yang terbaru adalah kembalinya Netanyahu ke tampuk kekuasaan pada tahun 2009.
Hamas merebut kekuasaan di Gaza dari pasukan yang setia kepada Abbas pada tahun 2007, membatasi kewenangannya yang terbatas pada pusat-pusat populasi besar yang mencakup sekitar 40 persen wilayah Barat yang diduduki Israel.
Baca juga: Suku-Suku di Gaza Tolak Jadi Antek Israel, Hamas Justru Ditikam Bos Intelijen Otoritas Palestina?
Abbas sangat tidak populer di kalangan warga Palestina, banyak dari mereka memandang Otoritas Palestina hanya sebagai subkontraktor pendudukan, karena mereka bekerja sama dengan Israel dalam masalah keamanan.
Mandatnya berakhir pada tahun 2009, namun Abbas menolak mengadakan pemilu, dan menyalahkan pembatasan yang dilakukan Israel.
Hamas menang telak dalam pemilihan parlemen terakhir, pada 2006.
Di sisi lain, Israel merebut Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur dalam perang Timur Tengah tahun 1967.
Palestina ingin ketiga wilayah tersebut membentuk negara masa depan mereka.
Israel mencaplok Yerusalem timur dalam sebuah tindakan yang tidak diakui secara internasional dan menganggap seluruh kota – termasuk tempat-tempat suci utama yang disucikan bagi orang Yahudi, Kristen, dan Muslim – sebagai ibu kotanya yang tidak terbagi.
Israel telah membangun sejumlah permukiman di Tepi Barat, tempat lebih dari 500.000 pemukim Yahudi tinggal berdekatan dengan sekitar 3 juta warga Palestina.
(Tribunnews.com/Nuryanti)