Hidup atau Mati, Semua Tentara Rusia Miliki Hak untuk Mencoblos dalam Pilpres 2024
Menurut laporan intelijen Ukraina, tentara Rusia dapat memberikan suara pada pemilu saat ini tanpa menunjukkan wajah mereka di TPS.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Undang-undang baru Rusia telah menyederhanakan persyaratan dokumen untuk mencoblos dalam pemilihan presiden 2024.
Undang-undang itu memungkinkan tentara Rusia yang bertempur di Ukraina, memberikan suara mereka tanpa menunjukkan wajah.
Artinya, tentara yang sudah meninggal mungkin bisa untuk memilih, Kyiv Post melaporkan.
Pemilihan presiden Rusia dijadwalkan dimulai hari Jumat (15/3/2024) dan akan berlangsung hingga Minggu (17/3/2024).
Banyak orang percaya bahwa kemenangan Presiden petahana Rusia Vladimir Putin sudah pasti terjadi.
Intelijen Pertahanan Ukraina (HUR) mengatakan instruksi terbaru dari Direktorat Utama Militer-Politik Angkatan Bersenjata Rusia ini berarti bahwa personel militer Rusia yang dikerahkan ke Ukraina tidak lagi memerlukan paspor atau tanda pengenal militer untuk memilih.
Bahkan fotokopi dokumen saja sudah cukup.
Mereka juga tidak diwajibkan hadir secara fisik di TPS.
Perintah tersebut kemungkinan dikeluarkan secara internal di dalam militer Rusia.
Kyiv Post tidak dapat memverifikasi secara independen rincian dan keaslian perintah tersebut.
Warga Rusia lainnya juga dapat memberikan suara secara online menggunakan sistem pemungutan suara elektronik Rusia, meskipun beberapa bentuk verifikasi identitas elektronik masih diperlukan.
Baca juga: Pilpres Rusia Dimulai, Vladimir Putin Kuasai 80 Persen Suara, Bakal Jadi Presiden Seumur Hidup?
Namun sistem ini kabarnya tidak digunakan oleh militer Rusia.
Warga Rusia juga mulai mengeluhkan masalah teknis pada sistem pemungutan suara elektronik saat ini.
HUR percaya bahwa perubahan baru dalam militer Rusia akan memudahkan pihak berwenang Rusia untuk memalsukan hasil pemilu dan meningkatkan jumlah suara untuk Putin dengan menambahkan suara mereka yang baru saja meninggal, hilang, atau ditangkap.
“Jelas bahwa dengan cara ini komisi pemilu Rusia akan mencoba meningkatkan jumlah pemilih Putin dengan menarik 'jiwa-jiwa mati' ke dalam pemilihan suara," tulis HUR dalam siaran persnya.
"Rencananya akan ditambah juga suara dari mereka yang baru saja meninggal, hilang, atau ditangkap."
HUR juga mengatakan angka resmi korban di Rusia bisa berarti lebih banyak suara untuk Putin.
“Kremlin sedang melakukan serangkaian tindakan untuk menyelenggarakan apa yang disebut 'pemilihan Presiden Federasi Rusia' secara fiktif,” lanjut HUR.
"Meskipun jelas bagi semua orang bahwa baik fakta dari pemilu ini maupun hasilnya adalah sarana untuk melegitimasi kekuasaan Putin di Rusia maupun di luar negeri."
Kandidat Lain Maju Hanya sebagai "Formalitas"
Pemilihan presiden Rusia akan berlangsung pada tanggal 15 hingga 17 Maret, dan yang bersaing untuk mendapatkan posisi tersebut, tanpa rencana untuk mundur, adalah Presiden Vladimir Putin.
Tetapi selain Putin, sebenarnya ada tiga sosok capres lainnya.
Mengutip Times Now, Putin, 71 tahun, berupaya memperpanjang masa jabatannya sebagai presiden dan berpotensi tetap menjabat selama 12 tahun lagi.
Hal ini disebabkan oleh perubahan konstitusi baru-baru ini, yang memungkinkan dia mencalonkan diri untuk dua periode lagi.
Meskipun persaingan tampaknya berlangsung kompetitif, partai-partai yang berseberangan tidak mempunyai saingan terkemuka yang secara terbuka kritis terhadap kebijakan Putin.
Boris Nadezhdin absen dalam pemilu tahun ini.
Baca juga: Benedict Cumberbatch Bacakan Surat Alexei Navalny: Kemenangan Tak Terelakkan, Jangan Menyerah
Politisi liberal ini sebenarnya mendapat banyak dukungan, namun ia didiskualifikasi dari pencalonannya oleh petugas pemilu.
Dalam kampanyenya sebelum didiskualifikasi, Nadezhdin berencana mengakhiri perang yang sedang berlangsung di Ukraina.
Soaok lain yang absen dalam pemilu adalah tokoh oposisi Alexei Navalny.
Tetapi Navalny, kritikus Putin yang paling menonjol, meninggal di penjara bulan lalu saat menjalani hukuman 19 tahun penjara atas tuduhan ekstremisme.
Meskipun memiliki misi jelas untuk menjegal Putin, upayanya untuk menantang presiden saat ini terhambat oleh banyak rintangan.
Dengan tidak adanya Navalny, pihak oposisi tidak mempunyai pesaing kuat untuk menantang Putin, terutama terkait cara Putin menangani konflik di Ukraina.
Kandidat yang saat ini mencalonkan diri diketahui berafiliasi dengan Kremlin.
Mereka secara luas mendukung agenda Putin, termasuk perang di Ukraina.
Tiga nama yang mencalonkan diri sebagai presiden yakni Nikolai Kharitonov, Leonid Slutsky, dan Vladislav Davankov.
Pencalonan mereka secara luas dianggap hanya sekedar formalitas, karena kurangnya potensi dalam memberikan tantangan terhadap kendali Putin yang sangat kuat.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)