Mati Syahid dalam Islam: Di Balik Reaksi 'Tenang' Ismail Haniyeh saat 3 Anaknya Dibunuh Israel
Banyak yang mempertanyakan kurangnya emosi yang ditunjukkan Ismail Haniyeh, sementara yang lain mengaitkannya dengan konsep kesyahidan dalam Islam.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Reaksi petinggi Hamas, Ismail Haniyeh, saat mendengar anak dan cucu-cucunya tewas dalam serangan Israel, dikritik banyak pihak.
Haniyeh dinilai terlalu tenang dan bahkan tidak peduli dengan kematian anaknya itu.
Anggapan itu mendorong sejumlah aktivis dan komentator untuk menjelaskan mengapa sikapnya itu tidaklah salah, The New Arab melaporkan.
Diberitakan sebelumnya, serangan udara Israel di kota Gaza menewaskan 3 anak Ismail Haniyeh dan setidaknya 4 cucunya, saat mereka berkendara di wilayah Al-Shati untuk mengunjungi keluarga di Hari Raya Idul Fitri, Rabu (10/4/2024).
Sebuah video menampilkan momen saat ketua biro politik Hamas itu mendengar kabar duka tersebut saat ia berada di Qatar.
Haniyeh memang tinggal di Qatar dan saat itu sedang mengunjungi warga Palestina yang diungsikan ke Doha untuk pengobatan.
Dalam video, Haniyeh tampak menunduk dan berkata, "Semoga Allah mengampuni mereka," sebelum lanjut mengunjungi pasien.
Kepada Al Jazeera, Haniyeh kemudian menjelaskan alasan di balik responsnya itu.
Haniyeh berkata dirinya merasa bersyukur kepada Tuhan atas kehormatan yang diberikan kepadanya atas kematian anak dan cucunya.
“Anak-anak saya dianugerahi kehormatan ini, mereka tetap bersama rakyat Palestina di Gaza, darah anak-anak saya tidak lebih berharga daripada darah rakyat kami,” tambahnya.
Meskipun ada yang mengecam reaksinya karena tampak "biasa saja", "tidak peduli", atau bahkan "psikotik", ada pula yang menganggapnya sebagai kesempatan untuk menjelaskan bagaimana mati syahid adalah konsep positif dalam Islam.
Baca juga: Populer Internasional: Ekspresi Haniyeh Pertama Dengar 3 Anaknya Tewas Dibunuh - AS Kirim Jenderal
“Apa yang lebih damai daripada mengetahui keluarga dan cucu-cucumu semuanya syahid dan mendapat tempat tertinggi di Jannah [surga]?” salah satu pengguna media sosial merespons.
“Karena dia tahu mereka syahid, Jannah menanti mereka. Kematian bukanlah akhir bagi kami dan kami akan mati dengan senang hati atas nama Allah,” kata pengguna media sosial lainnya.
Dilansir The New Arab, menurut keyakinan Islam, kelompok Muslim tertentu termasuk dalam kategori syahid, yakni mereka yang meninggal karena wabah penyakit, kebakaran, tenggelam, wanita yang meninggal saat melahirkan, mereka yang meninggal karena menjaga harta benda, dan mereka yang meninggal saat membela keluarga atau agamanya.
Umat Islam percaya bahwa mereka yang mati syahid diberikan keistimewaan khusus dari Allah, termasuk diampuni dosanya dan diberikan tempat di surga.
Mereka yang mati syahid diyakini memiliki “mahkota martabat” di kepalanya di akhirat.
Ada pula yang menyoroti konsep ketabahan dan ketahanan yang dikenal dengan istilah "Sumud" dalam bahasa Arab.
Istilah ini pertama kali digunakan secara luas di Palestina untuk menggambarkan tindakan setelah perang tahun 1967, yang dikenal di kalangan warga Palestina sebagai Naksa, yang berujung pada aneksasi dan pendudukan Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza.
Respons Pihak Israel
Militer Israel mengatakan pihaknya telah menghilangkan tiga anggota sayap militer Hamas di Gaza tengah, dan menambahkan bahwa mereka adalah putra Haniyeh, namun tidak menyebutkan pembunuhan cucu-cucunya.
Israel kemudian menambahkan bahwa keputusan untuk membunuh keluarga Haniyeh tidak diketahui oleh kabinet perang Israel atau Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Haniyeh mengatakan bahwa serangan terhadap keluarganya tidak akan mengakhiri perundingan gencatan senjata atau memberikan tekanan pada Hamas untuk mengubah sikap negosiasinya.
“Musuh akan berkhayal jika berpikir bahwa menargetkan anak-anak saya, akan mendorong Hamas untuk mengubah posisinya,” katanya.
Keluarga Haniyeh Dianggap Warga Sipil Biasa
Omar Shakir, direktur Israel dan Palestina di Human Rights Watch, menyoroti bahwa kerabat kombatan yang tidak terlibat dalam pertempuran dianggap warga sipil.
“Bahkan para pemimpin politik, jika tidak terlibat dalam operasi militer, bukanlah sasaran militer yang sah berdasarkan hukum perang," katanya dalam sebuah postingan di X.
"Serangan yang disengaja terhadap warga sipil adalah kejahatan perang keji yang tidak memiliki pembenaran."
Lebih dari 33.000 warga Palestina telah terbunuh di Gaza sejak dimulainya perang pada 7 Oktober.
Serangan pemboman Israel di Gaza telah menjerumuskan negara tersebut ke dalam krisis kemanusiaan yang parah.
Beberapa organisasi bantuan memperingatkan bahwa daerah kantong tersebut berada di ambang kelaparan.
Sebanyak 13.000 orang dinyatakan hilang menurut pemantau hak asasi manusia Euro-Med, sementara lebih dari 70.000 warga Palestina terluka, kata Kementerian Kesehatan Palestina.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)