Festival Seks di Korsel Didemo Warga, Dianggap Rusak Moral
Panitia membayangkan 5.000 orang berbondong-bondong melihat aktor dan aktris porno Jepang favorit mereka.
Editor: Hasanudin Aco
Acara itu, klaimnya, tidak menampilkan ketelanjangan atau tindakan seksual, serupa dengan acara yang dia adakan tahun lalu yang kurang mendapat sorotan publik.
Play Joker telah melakukan berbagai aksi yang menarik perhatian. Tahun lalu mereka menampilkan seorang perempuan di Seoul yang berjalan dengan hanya mengenakan kotak kardus.
Orang-orang yang lewat kemudian memasukkan tangan mereka ke dalam kardus dan menyentuh payudara perempuan itu.
Lee mengatakan ingin menantang sikap Korea terhadap seks dan pornografi.
"Pihak berwenang adalah orang-orang munafik. Jika orang-orang mengakses internet, mereka semua berbagi pornografi. Lalu mereka akan logout dan berpura-pura tidak bersalah. Berapa lama lagi kita akan terus berpura-pura seperti ini?"
Meskipun situs porno internasional populer tidak dapat diakses dari Korea Selatan, sebagian besar mengetahui cara menggunakan VPN untuk menyiasati pembatasan internet.
Suwon's Women's Hotline yang sejak awal memprotes festival seks tersebut menilai pembatalan acara itu sebagai sebuah "kemenangan".
“Terserah pihak penyelenggara mau bilang apa, tapi ini bukanlah perayaan seks. Ini eksploitasi dan objektifikasi perempuan. Industri seks mendorong kekerasan terhadap perempuan,” kata Go Eun-chae, direktur hotline yang menyediakan dukungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Go dan organisasi hak-hak perempuan lainnya di Korea berpendapat bahwa Korsel memiliki masalah kekerasan seksual yang segera memerlukan perhatian.
“Hal ini [kekerasan seksual] meresap dalam budaya kita,” katanya, seraya menambahkan bahwa laki-laki memiliki kesempatan tanpa batas untuk mengekspresikan seksualitas mereka tanpa memerlukan festival seks.
Bae Jeong-weon, dosen seksualitas dan budaya di Universitas Sejong, mengatakan salah satu masalah dengan festival ini adalah sebagian besar acaranya ditujukan untuk penonton laki-laki.
“Ada banyak kekerasan terhadap perempuan di sini, sehingga perempuan jauh lebih sensitif terhadap isu-isu eksploitasi,” katanya.
Dalam survei yang dilakukan Kementerian Gender pada tahun 2022, lebih dari sepertiga perempuan mengatakan mereka pernah mengalami agresi seksual.