Netanyahu Pusing, Joe Biden Tak Setuju Israel Invasi Rafah, Minta Bantuan Kemanusiaan Ditingkatkan
Presiden AS, Joe Biden dengan tegas terkait posisinya yang tak menyetujui Israel menginvasi Rafah dan meminta bantuan kemanusiaan ditingkatkan.
Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.COM - Dalam panggilan teleponnya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden AS, Joe Biden menegaskan bahwa pihaknya tak akan mendukung operasi di Rafah.
Kedua pemimpin itu juga berdialog mengenai pembebasan sandera di Gaza, menurut salah seorang sumber.
Mengutip Al Jazeera, Gedung Putih menyebut posisi Biden "sudah jelas" tak akan mendukung Israel bila menginvasi Rafah tanpa rencana kemanusiaan yang tepat dan kredibel.
Dengan pernyataan Biden itu, Israel mau tak mau menyetujui untuk mendengarkan kekhawatiran dan pemikiran AS sebelum melancarkan invasi.
Gedung Putih juga menyoroti pembicaraan kedua pemimpin mengenai bantuan kemanusiaan.
"Presiden dan Perdana Menteri juga membahas peningkatan pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza termasuk melalui persiapan pembukaan penyeberangan utara baru mulai minggu ini," kata Gedung Putih.
"Presiden menekankan perlunya kemajuan ini dipertahankan dan ditingkatkan melalui koordinasi penuh dengan organisasi kemanusiaan."
"Para pemimpin membahas Rafah dan Presiden menegaskan kembali posisinya yang jelas," tegasnya.
Pemerintahan Biden telah menjelaskan kepada Israel bahwa mereka ingin melihat rencana yang jelas dan dapat ditindaklanjuti mengenai bagaimana mereka akan melindungi warga sipil di Rafah.
Juru bicara keamanan nasional Gedung Putih, John Kirby mengatakan, AS masih berupaya mencapai kesepakatan yang mencakup gencatan senjata sementara dan pembebasan sandera.
"Jika kita bisa mencapai kesepakatan penyanderaan ini – dan kita masih mengupayakannya, Hamas belum sepenuhnya menolaknya, mereka sedang mempertimbangkan usulan ini."
Baca juga: World Central Kitchen akan Kembali Beroperasi di Gaza usai 7 Staffnya Tewas Akibat Serangan Israel
"Jika kita bisa mewujudkannya, maka Anda akan merasa tenang selama enam minggu."
"Ini berarti Anda tidak boleh berperang selama enam minggu, dan itu termasuk tidak boleh berperang di Rafah," kata Kirby, melansir CNN melalui ABC.
Kirby juga menegaskan, Washington menginginkan konflik antara Hamas dengan Israel dapat segera berakhir.
"Dan apa yang kami harapkan adalah setelah enam minggu gencatan senjata sementara, kita mungkin bisa mewujudkan sesuatu yang lebih bertahan lama. Kami ingin konflik ini segera berakhir," ungkapnya.
Blinken 'Kerja Keras'
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken nampaknya kembali bekerja keras demi perdamaian antara Hamas dengan Israel.
Saat ini, Blinken telah tiba di Arab Saudi dalam tur Timur Tengah dengan tujuan untuk mengamankan gencatan senjata di Gaza.
Blinken juga memiliki tujuan untuk memperbaiki krisis kemanusiaan yang terjadi di Gaza.
Baca juga: Tur Timur Tengah Lagi, Menlu AS Bakal Sambangi Israel dan Yordania usai Kunjungan ke Arab Saudi
Dikutip dari Al Jazeera, di Riyadh, Blinken diperkirakan akan bertemu dengan para pemimpin senior Saudi dan mengadakan pertemuan yang lebih luas dengan mitra dari lima negara Arab.
Kelima negara tersebut adalah Qatar, Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Yordania.
Blinken akan berdiskusi tentang seperti apa tata kelola Jalur Gaza setelah perang berakhir.
Dia diperkirakan akan mengunjungi Yordania dan Israel setelahnya.
20 Orang Tewas dalam Serangan Israel di Rafah
Baca juga: Soal Proposal Gencatan Senjata Baru Israel, Hamas: Tidak Ada Masalah Besar
Serangan udara Israel terhadap tiga rumah di Kota Rafah di Gaza selatan menewaskan sedikitnya 20 warga Palestina dan melukai banyak lainnya.
Mengutip Reuters, di Kota Gaza, jet Israel menyerang dua rumah dan menewaskan empat orang serta melukai beberapa warga.
Serangan di Rafah terjadi beberapa jam sebelum Mesir dijadwalkan menjadi tuan rumah bagi para pemimpin Hamas untuk membahas gencatan senjata dengan Israel.
Saat ini, militer Israel mengatakan tengah menyelidiki laporan serangan di Rafah tersebut.
Israel telah berjanji untuk membasmi Hamas, yang menguasai Gaza, dalam operasi militer yang telah menewaskan lebih dari 34.000 warga Palestina, 66 di antaranya dalam 24 jam terakhir.
Serangan terhadap Rafah telah diantisipasi selama berminggu-minggu, namun pemerintah asing dan PBB menyatakan kekhawatiran bahwa tindakan tersebut dapat mengakibatkan bencana kemanusiaan.
(Tribunnews.com/Whiesa)