Tank-tank Israel Gempur Rafah, Tempat Perlindungan Terakhir Warga Gaza, Mesir Cuma Bisa Mengecam
Apa reaksi Mesir menyaksikan warga Gaza semakin terjepit? Sejauh ini tak ada tanda-tanda Mesir mengerahkan kekuatannya untuk melindungi warga Gaza.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, KAIRO - Militer Israel mulai bergerak dan mengambil kendali penyeberangan Rafah di sisi Gaza, di antara Jalur Gaza dan Mesir.
Dalam foto-foto yang beredar di media sosial terlihat kendaraan lapis baja Israel, termasuk Tank Merkava memasuki tempat perlindungan warga Gaza.
Washington Post melaporkan, seorang pejabat dari Pasukan Pertahanan Israel mengatakan pasukan infanteri dan batalion lapis baja memperoleh “kendali operasional” di sisi penyeberangan Palestina.
Pejabat tersebut, yang menolak disebutkan namanya sesuai dengan protokol militer, mengatakan mereka telah menewaskan anggota Hamas dan tiga terowongan ditemukan dalam apa yang dia gambarkan sebagai “operasi sasaran spesifik”.
Apa reaksi Mesir menyaksikan warga Gaza semakin terjepit? Sejauh ini tak ada tanda-tanda Mesir mengerahkan kekuatannya untuk melindungi warga Gaza. Kairo hanya mengecam.
Di sisi lain, operasi Israel kali ini disebut banyak pihak membahayakan hubungan Israel dengan Mesir yang sudah rapuh, yang telah berulang kali memperingatkan Israel bahwa tindakan militer di perbatasan dapat melanggar perjanjian perdamaian antara kedua negara yang telah berusia empat dekade.
“Mesir dengan keras mengecam operasi militer Israel di Rafah Palestina, yang mengakibatkan Israel menguasai sisi perbatasan Palestina,” kata Kementerian Luar Negeri Mesir dalam sebuah pernyataan.
Pernyataan tersebut menggambarkan serangan tersebut sebagai “eskalasi berbahaya” yang mengancam upaya gencatan senjata, dan menambahkan bahwa operasi tersebut membahayakan nyawa jutaan warga Palestina yang bergantung pada penyeberangan untuk mendapatkan bantuan kemanusiaan.
Penyeberangan Rafah dan Kerem Shalom, dua titik masuk bantuan utama di selatan, telah ditutup akibat pertempuran tersebut, menurut pejabat Israel dan Palestina.
Sebuah foto yang beredar secara online dan geolokasi oleh The Washington Post menunjukkan dua bendera Israel dikibarkan di sisi Palestina dari titik penyeberangan. Video lain menunjukkan sebuah kendaraan lapis baja menabrak tanda “Gaza” yang diapit oleh dua bendera Palestina di ruang kedatangan.
Sebagai informasi, Rafah merupakan satu-satunya perbatasan yang memungkinkan penduduk keluar masuk Gaza tanpa kendali Israel.
Warga Gaza yang mengungsi akibat bombardir Israel usai serangan Hamas pada 7 Oktober lalu memadati Rafah sepanjang akhir 2023 hingga kini.
Para warga sipil, menganggap kota tersebut menjadi tempat perlindungan terakhir dari serangan Israel.
Di sisi lain, tentara Zionis Israel menganggap Kota Rafah sebagai benteng terakhir dari pasukan Hamas.
Jerit hati warga Gaza: ke Mana Kami Pergi?
Pengungsi Palestina di Rafah mengungkapkan reaksi mereka terhadap seruan Israel untuk mengevakuasi bagian timur kota tersebut.
Abu Ahmed menanyakan perintah evakuasi Israel, sebab menurutnya, Rafah adalah daerah yang paling aman bagi dirinya dan keluarganya.
“Hari ini, mereka menyuruh kami keluar dari Rafah. Ke mana orang-orang akan pergi? Haruskah mereka pergi ke laut? Ke mana orang-orang akan pergi setelah mereka memberi tahu kami bahwa ini adalah daerah yang aman," ujarnya.
Seorang perempuan Palestina, Aminah Adwan, bercerita dia mendapati perintah evakuasi itu di pagi hari, ketika hujan deras turun dan menggenangi tendanya.
“Kami bangun di pagi hari dan mendapati hujan deras, kami tergenang dalam hujan, pakaian dan barang-barang kami juga -- kami berada di jalanan. Kami juga mendapat berita yang jauh lebih buruk, seruan untuk mengevakuasi Rafah,” ujar Aminah Adwan.
“Saat ini hujan deras dan kami tak tahu harus pergi ke mana. Saya selalu khawatir hari ini akan tiba, saya sekarang harus mencari tahu ke mana saya bisa membawa keluarga saya,” ujar Abu Raed, salah satu pengungsi di Rafah.
Wakil pemimpin Hamas di Gaza mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa persyaratan gencatan senjata yang disetujui pada Senin (06/05) mencakup pertukaran tahanan Israel-Palestina dalam tiga tahap.
Dikutip dari BBC, -meski belum bisa memverifikasi informasi tersebut secara independen--berikut rinciannya:
Fase pertama: Akan mencakup periode gencatan senjata selama 42 hari, Hamas akan membebaskan 33 sandera sebagai imbalan atas pembebasan tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel.
Hal ini juga akan melibatkan penarikan sebagian pasukan Israel dari Gaza dan memungkinkan warga Palestina untuk bergerak bebas dari selatan ke utara.
Fase kedua: Melibatkan periode gencatan senjata selama 42 hari, “ketenangan berkelanjutan” akan dipulihkan di Gaza dan pasukan Israel akan ditarik sepenuhnya.
Hamas juga diperkirakan akan membebaskan tentara cadangan Israel dan beberapa tentara yang disandera sebagai imbalan atas pembebasan tahanan Palestina dari penjara.
Frase ketiga: Pertukaran jenazah akan selesai dan dimulainya rekonstruksi sesuai dengan rencana yang diawasi oleh Qatar, Mesir dan PBB.
Hal ini juga akan mengakhiri blokade penuh Jalur Gaza.
Seperti yang telah kami laporkan, rincian pasti dari proposal yang disetujui oleh Hamas masih belum jelas dan Netanyahu dari Israel mengatakan bahwa perjanjian tersebut "jauh dari memenuhi tuntutan Israel", dan menambahkan bahwa ia akan mengirim tim ke Kairo untuk melakukan negosiasi lebih lanjut.