Pasukan Keamanan Mesir Culik Aktivis Mahasiswa pro-Palestina, Obrak-obrik Tiap Sudut Rumah
Penangkapan Basiouni oleh Mesir dilakukan usai dia menyerukan dan mendesak mahasiswa untuk berdiri bersama Palestina dan mendukung gerakan boikot.
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Pasukan Keamanan Mesir Culik Aktivis Mahasiswa pro-Palestina, Obrak-obrik Tiap Sudut Rumah
TRIBUNNEWS.COM - Pejabat keamanan Mesir dilaporkan menangkap mahasiswa aktivis, Ziad Al-Basiouni pada Kamis (9/5/2024) dini hari lalu.
Penangkapan Basiouni dilakukan setelah sang aktivis mengunggah sebuah postingan di halaman Facebook pribadinya yang menyerukan dan mendesak mahasiswa untuk berdiri bersama Palestina dan mendukung gerakan boikot.
Dia, kata teman-teman dan keluarganya, telah “dihilangkan secara paksa” oleh rezim Mesir.
Baca juga: Memanas, Mesir Mendadak Batalkan Rapat Militer dengan Israel, Tel Aviv Anggap Kairo Berkhianat
“Saat fajar pada hari Kamis, pasukan besar dari Dinas Keamanan Nasional, termasuk pria bertopeng, menyerbu apartemen kami dengan keras, mendobrak pintu kami,” jelas ibu Al-Basiouni, Fayza Hindawi, perempuan yang berprofesi sebagai jurnalis.
“Mereka mengancam kami dengan senapan mesin, mengambil ponsel kami, meneror kami, dan mengobrak-abrik setiap sudut rumah selama dua jam penuh.”
Semua ini, katanya, terjadi setelah putranya, Ziyad, mengunggah di media sosial menyerukan gerakan mahasiswa untuk Palestina dan mendukung boikot.
“Dia tidak menyerukan perlawanan terhadap rezim [Al-Sisi] atau menyerukan kekerasan. Dia diperlakukan seperti penjahat dan ditangkap satu minggu sebelum ujiannya, dan sejak itu kami tidak mendengar apa pun tentang dia,” katanya.
Hindawi mengatakan kalau dia dan keluarganya sempat mengikuti saran teman-temannya dan tetap bungkam tentang kejadian tersebut, sementara mereka meminta pembebasannya.
Baca juga: Rebut Kendali Penyeberangan Rafah, Israel: Kami Tak Langgar Perjanjian Damai dengan Mesir
“Namun, janji untuk membebaskannya tidak ditepati. Setelah kami gagal menghubunginya selama empat hari berturut-turut, diam tidak lagi menjadi pilihan.”
Dia lalu menulis artikel tentang apa yang terjadi Kamis lalu, dengan judul “Saya hanya ingin memeriksa anak saya”.
Rincian lainnya diungkap oleh Khaled, saudara laki-laki Ziad, mantan tahanan, dan seorang hukum serta mantan anggota Komite Tertinggi Partai Al-Karama.
“Pintu rumah didobrak dan senjata otomatis diarahkan ke wajah kami tanpa kami sadari apa yang terjadi,” ujarnya.
“Setelah menggeledah seluruh isi rumah kami dan menghancurkan serta menghancurkan semuanya selama dua jam, kami menemukan bahwa Ziad ditangkap di jalan depan rumah kami."
"Dia adalah seorang mahasiswa di Institut Seni Rakyat di Akademi Seni, dan tidak terlibat dalam aktivitas politik apa pun selain keyakinan pada perjuangan Palestina dan solidaritas dengan rakyat Palestina yang menjadi sasaran genosida,” katanya.
Kairo Pro Israel?
Sejauh ini, Mesir menunjukkan dua sisi bias terkait sikap mereka atas kondisi di Gaza.
Banyak pihak menyatakan kalau Kairo, di balik sikap mereka menentang agresi militer Israel ke Gaza, justru menunjukkan langkah-langkah yang mendukungan aksi invasi IDF ke Mesir.
Adapun pihak Mesir secara tegas menyatakan, mereka peduli terhadap Palestina dan Gaza serta hak-hak yang dimiliki bangsa tersebut sebagai sebuah entitas negara.
Namun, bagi Kairo, keamanan nasional mereka adalah harga mati yang paling utama.
Mesir trauma dan tampaknya alergi pada hal-hal yang bisa memicu munculnya kelompok-kelompok perlawanan di negaranya yang bisa mengganggu stabilitas nasional.
Upaya mereka melakukan 'koordinasi' dengan Israel, khususnya soal perbatasan di Rafah, juga diklaim sebagai bentuk pengutamaan masalah keamanan nasional.
Mesir sejauh ini cenderung melakukan cara-cara soft dalam berhubungan dengan Tel Aviv, didorong niatan agar masalah keamanan nasional negara mereka tidak diotak-atik Israel.
Namun belakangan Mesir gerah juga saat Israel kemudian mengambil alih kendali titik penyeberangan Rafah.
Abaikan Peringatan Mesir
Manuver tentara IDF mengambil alih perbatasan Mesir-Gaza di penyeberangan Rafah ini jelas mengabaikan peringatan Mesir yang berulang kali mewanti-wanti kalau aksi itu berpotensi memperluas konflik di Timur Tengah.
Sejak perang antara Israel dan Hamas meletus pada 7 Oktober, Mesir diketahui melakukan sejumlah upaya agar perbatasan antara negara mereka dan Gaza benar-benar tertutup rapat.
Mesir membangun tembok perbatasan beton yang tingginya enam meter ke dalam tanah dan di atasnya dipasang kawat berduri.
Mereka juga telah membangun tanggul dan meningkatkan pengawasan di pos-pos perbatasan, kata sumber keamanan.
Bulan lalu, layanan informasi negara Mesir merinci beberapa tindakan yang diambil di perbatasannya sebagai tanggapan atas dugaan Israel kalau Hamas telah memperoleh senjata yang diselundupkan dari Mesir.
Tiga garis penghalang membuat penyelundupan melalui darat atau bawah tanah menjadi mustahil, katanya.
Gambar yang dibagikan ke Reuters oleh Sinai Foundation for Human Rights, sebuah kelompok independen, menunjukkan pemasangan tembok pada bulan Desember, dengan beberapa tanggul di belakangnya.
Gambar selanjutnya, yang menurut kelompok itu diambil pada awal Februari, tampak menunjukkan tiga lapisan kawat berduri melingkar vertikal dipasang di atas tembok.
Citra satelit dari bulan Januari dan Desember juga menunjukkan beberapa pembangunan baru di sepanjang 13 km (8 mil) perbatasan dekat Rafah dan perluasan tembok ke tepi laut di ujung utaranya.
Mesir juga sudah mengirimkan sekitar 40 tank dan pengangkut personel lapis baja ke timur laut Sinai pada Februari silam dan bersiaga di sana sejak itu.
Langkah Mesir ini disebutkan sebagai bagian dari serangkaian tindakan untuk meningkatkan keamanan di perbatasannya dengan Gaza, kata dua sumber keamanan Mesir, menurut laporan Reuters.
Seorang pejabat tinggi pemerintah Mesir, mengatakan kalau Kairo siap untuk menghadapi skenario apa pun yang mungkin terjadi atas situasi di Rafah terkait agresi militer Israel.
Stasiun televisi Al Qahera News, Selasa (13/2/2024) silam melaporkan, Mesir menyatakan pemerintah mereka mengawasi secara seksama situasi yang terjadi di perbatasan dan Rafah, mengingat tentara Israel (IDF) sudah memulai serangan ke wilayah itu.
Hubungan Mesir-Israel Terancam Rusak, Perang di Depan Mata
Mesir dan Israel telah hidup damai selama lebih dari empat dekade.
Kedua negara, dalam beberapa tahun terakhir, telah memperluas hubungan melalui ekspor gas alam Israel dan koordinasi keamanan di sekitar perbatasan bersama dan Jalur Gaza.
Kedua negara telah mempertahankan blokade terhadap Gaza, secara ketat membatasi pergerakan orang dan barang melintasi perbatasannya, setelah Hamas menguasai wilayah tersebut pada tahun 2007.
Namun hubungan tersebut berada di bawah tekanan dan terancam rusak karena operasi militer Israel saat ini di Gaza, yang dilakukan sebagai pembalasan atas serangan Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober.
Baca juga: Tagih Mesir Balas Budi ke Israel, Eks-Menlu Tel Aviv Serukan Pengambil Alihan Koridor Philadelphia
Mesir telah berulang kali memperingatkan kemungkinan kalau serangan Israel dapat mengusir warga Gaza yang putus asa ke Sinai.
Mesir juga marah atas niat dari Israel yang mau mengambil kembali kendali penuh atas koridor perbatasan Gaza-Mesir untuk memastikan demiliterisasi Wilayah Palestina.
Pada bulan Januari, Mesir mengumumkan dua operasi untuk memberantas penyelundupan narkoba di timur laut Sinai dalam upaya nyata untuk menunjukkan kendali mereka atas wilayah tersebut.
Seorang pejabat Israel mengatakan kepada Reuters, restrukturisasi keamanan di perbatasan, yang katanya masih memiliki sejumlah kecil terowongan, sedang dalam diskusi rutin oleh kedua negara.
Israel akan mencoba mengorganisir pergerakan pengungsi Palestina ke utara di Gaza sebelum operasi militer apa pun di sana, kata pejabat itu.
Sumber keamanan Mesir membantah telah terjadi pembicaraan apa pun dan mengatakan mereka memprioritaskan upaya untuk mencapai gencatan senjata di Gaza.
Baca juga: Ancaman Keras Mesir ke Israel Jika Berani Usir Warga Palestina ke Sinai, Sinyal Perang di Selatan?
Baca juga: Dokumen Intelijen Israel Bocor: Mau Jadikan Warga Gaza Kaum Terusir di Tenda-Tenda Sinai Mesir
Dalih Israel Kuasai Perbatasan
Layanan informasi negara menyebut tuduhan adanya penyelundupan sebagai “kebohongan” yang dimaksudkan untuk menutupi tujuan Israel menduduki zona penyangga perbatasan, yang dikenal sebagai Koridor Philadelphia.
Mesir juga menyalahkan Israel karena membatasi pengiriman bantuan ke Gaza, di mana risiko kelaparan meningkat dan para pekerja bantuan telah memperingatkan penyebaran penyakit.
Israel membantah menahan atau menolak pasokan kemanusiaan.
Belakangan, aksi nyata Israel mengambil alih perbatasan Mesir-Gaza di titik penyeberangan Rafah dimaksudkan untuk memblokade wilayah tersebut dari mobilisasi Hamas saat IDF masuk menyerbu.
Mesir telah menyatakan penolakannya terhadap perpindahan warga Palestina dari Gaza sebagai bagian dari penolakan negara-negara Arab terhadap terulangnya apa yang disesali oleh warga Palestina sebagai “Nakba”, atau “Bencana”.
Saat itu, sekitar 700.000 orang melarikan diri atau terpaksa meninggalkan rumah mereka dalam perang yang terjadi di sekitar Gaza. Penciptaan Israel pada tahun 1948.
Para diplomat dan analis mengatakan Mesir juga khawatir akan infiltrasi Hamas dan menampung sejumlah besar pengungsi.
Pada bulan Oktober, Presiden Abdel Fattah Al-Sisi memperingatkan kalau pengungsian dapat mengubah Sinai menjadi basis serangan terhadap Israel.
Baca juga: PM Yordania: Pengusiran Warga Palestina dari Gaza Kami Anggap Sebagai Deklarasi Perang
Tetap Berkomitmen pada Perjanjian Camp David
Sebelumnya dilaporkan, pemerintah Mesir mengatakan berkomitmen untuk menegakkan perjanjian damai dengan Israel
Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry mengatakan pada Februari lalu kalau negaranya berkomitmen untuk menegakkan perjanjian damai dengan Israel, Anadolu Agency melaporkan.
“Ada perjanjian perdamaian antara Mesir dan Israel, yang telah berlaku selama 40 tahun terakhir, dan kami melakukan kesepakatan dengan percaya diri dan efektif dan akan terus melakukannya pada tahap ini,” kata Shoukry saat konferensi pers dengan timpalannya dari Slovenia, Tanja Fajon di ibu kota Ljubljana.
Pernyataannya muncul setelah laporan sebelumnya di media AS mengklaim kalau Kairo mengancam akan menangguhkan perjanjian damai dengan Israel atas rencana serangan darat di kota Rafah dekat perbatasan dengan Mesir.
Mesir menandatangani Perjanjian Camp David dengan Israel pada tahun 1979 yang menyatakan Tel Aviv menarik diri dari Semenanjung Sinai.
Shoukry mengatakan Kairo berusaha menjadi perantara kesepakatan antara Hamas dan Israel untuk pembebasan sandera dan mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza.
Tentara Israel berencana melancarkan serangan darat di Rafah, rumah bagi lebih dari 1,4 juta penduduk yang mencari perlindungan dari perang, untuk mengalahkan apa yang disebut Tel Aviv sebagai “batalion Hamas” yang tersisa.
Warga Palestina mencari perlindungan di Rafah ketika Israel menggempur wilayah kantong lainnya sejak 7 Oktober.
Pemboman Israel yang terjadi kemudian telah menewaskan lebih dari 35 ribu korban dan menyebabkan kehancuran massal dan kekurangan kebutuhan pokok.
Perang Israel di Gaza menyebabkan 85 persen penduduk wilayah tersebut menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut rusak atau hancur, menurut PBB.
Pada akhir tahun 2023, Afrika Selatan mengajukan kasus ke Mahkamah Internasional, menuduh Israel gagal menjunjung komitmennya berdasarkan Konvensi Genosida 1948.
Dalam keputusan sementaranya pada bulan Januari, pengadilan PBB memutuskan bahwa klaim Afrika Selatan masuk akal.
Mereka memerintahkan tindakan sementara bagi pemerintah Israel untuk menghentikan tindakan genosida, dan mengambil tindakan untuk menjamin bahwa bantuan kemanusiaan diberikan kepada warga sipil di Gaza.
(oln/memo/aja/berbagaisumber/*)